
Apakah perselingkuhan itu suatu gangguan jiwa? Ini salah satu pertanyaan yang muncul saat sarasehan Kesehatan Jiwa dan Pencegahan Bunuh Diri di Kecamatan Tanjungsari pada Selasa Pon (23/1/2018) lalu. Para peserta mulai dari Muspika, para kades, tokoh LPMD, kader PKK, sampai kader kesehatan terlihat sumringah. Mereka antusias mengikuti acara. Forum diskusi berlangsung sangat dinamis. Pertanyaan yang muncul dari salah satu peserta yang saya tulis di awal paragraf sekilas nampak melebar dari pokok bahasan sarasehan. Tetapi, ….. tunggu dulu……
Apabila dicermati, pertanyaan Pak Mustakim, sang Kepala KUA tersebut sesungguhnya menjadi cermin keseriusan dan perhatiannya yang sangat detail tentang perilaku masyarakat. Fenomena perselingkuhan secara umum memang ditengarai termasuk dalam golongan “pekat” (penyakit masyarakat). Masalahnya, penanganan golongan “pekat” ini sering campur aduk bersama penanganan ODGJ atau ODMK yang menjadi gelandangan di ruang-ruang publik. Dalam pertemuan tersebut, Pak Mustakim sebagai pejabat pemerintah yang berwenang “mengasuh” kerohanian masyarakat, jelas ingin memastikan, apakah perilaku tersebut sebagai sebuah “gangguan kesehatan jiwa” atau tidak? Artinya, sekiranya menjadi bagian dari “gangguan kesehatan jiwa”, tentu saja “intervensi” (baca: penanggulangan) yang ingin ia laksanakan bersama jajarannya memerlukan masukan yang komprehensif dari pihak yang berkompeten.
Tentunya tidak perlu khawatir. Pertanyaan Kepala KUA tersebut bukanlah berarti ada banyak kasus perselingkuhan di wilayah Kecamatan Tanjungsari. Ini murni pertanyaan yang logis dalam sebuah sarasehan berbasis keilmuan. Kehendak untuk secara komprehensif dan bersinergi dalam menjalankan tugas pembimbingan dan pembinaan kepada masyarakat sangat patut diapresiasi.
Sarasehan Ketahanan Kesehatan Jiwa Masyarakat dan Penanggulangan Bunuh Diri yang terlaksana pada awal tahun ini diprakarsai oleh Camat Tanjungsari. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut kegiatan penanggulangan dan pencegahan masalah bunuh diri yang telah beberapa kali dibahas dalam pertemuan tingkat kabupaten. LSM IntiMataJiwa diminta menjadi narasumber sarasehan yang diikuti para tokoh dan pemuka masyarakat di Tanjungsari ini.
Tanjungsari, Wilayah Unggulan Tujuan Wisata Gunungkidul
Camat Tanjungsari Pak Rahmadian Wijayanto dalam pengantar acara menjelaskan, dia dan jajaran Pemdes se-Tanjungsari telah bertekad menjadikan Kecamatan Tanjungsari sebagai daerah tujuan wisata terkemuka di Gunungkidul. Karena itu, ia berharap, kegiatan yang dilaksanakan ini dapat menjadi kegiatan edukatif dan promotif peningkatan kesehatan jiwa masyarakat, sekaligus sebagai upaya promotif dan preventif pencegahan bunuh diri.
Dalam pengalaman penugasannya di Kecamatan Tepus beberapa tahun silam, Pak Camat ini memang pernah menghadapi secara langsung kasus bunuh diri yang terjadi di masyarakat. Menurutnya, kejadian bunuh diri pada waktu lalu memang cukup signifikan terjadi. Dalam catatannya, peristiwa bunuh diri tercetus karena berbagai sebab, seperti: sakit menahun, kesepian karena jauh dari sanak keluarga, sedang dirudung masalah keluarga, sedang menghadapi masalah berat, dan sebagainya.
Menurut Pak Camat, angka bunuh diri di wilayah Kecamatan Tanjungsari sendiri relatif rendah terjadi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Pada tahun 2015-2017 terdapat 3 kejadian. Ini memang relatif lebih kecil dibandingkan wilayah kecamatan lainnya. Ia berharap, melalui pendekatan kesehatan jiwa inilah kerentanan masyarakat terhadap kejadian bunuh diri dapat ditanggulangi. Kegiatan menyambangi warga jelas sangat diperlukan untuk melihat kondisi riil di lapangan, sekaligus sebagai upaya deteksi dini risiko bunuh diri dan upaya pencegahannya.
Pendekatan Persuasif, Inklusif dan Membimbing
Pak Immawan Wahyudi, Wakil Bupati Gunungkidul yang berkesempatan hadir memberikan sambutan dan pengarahan. Ia menyampaikan landasan filosofis dan teologis tentang makna hidup yang mesti berguna bagi sesama di tengah masyarakat.
“Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan dengan hati yang ridha,” demikian ia mengutip sebuah teks Al Quran. Ia menandaskan, bahwa jiwa-jiwa yang tenang dan berhati ridha itulah yang dikehendaki Tuhan, sehingga sesungguhnya antara aspek spiritual dengan aspek kesehatan jiwa terdapat keterkaitan yang erat.
Ia meyakini, semua agama tentu memiliki pandangan yang sejalan atau serupa dalam hal ini. Oleh karena itu, pendekatan spiritual dapat menjadi pelengkap dari pendekatan kejiwaan dalam meningkatkan ketahanan kesehatan jiwa dan mencegah kejadian bunuh diri. Pak Immawan juga berpesan kepada jajaran pemerintahan, agar melakukan pendekatan persuasif, inklusif, dan membimbing kepada warga masyarakat.
“Janganlah mempergunakan pendekatan menilai atau mengevaluasi kondisi “keber-dosa-an” perilaku masyarakat. Sekali lagi, gunakanlah pendekatan persuasif, iklusif dan membimbing dalam menanggulangi masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri,” pesannya.
Dari Mitos Pulung Gantung ke Non Diskriminasi dan Patahkan Stigma
Mas Wage Daksinarga, salah satu pegiat LSM Imaji, dalam paparannya mengajak para peserta untuk dengan mata hati melihat permasalahan kesehatan jiwa dan kasus-kasus bunuh diri. Dengan hati jernih, ia mengajak melihat, bahwa masih adanya warga dengan gangguan jiwa yang terlantar. Masih ada warga dan keluarga yang mengalami kejadian tragis bunuh diri itu dipandang sebagai warga yang diajuhi dalam pergaulan, dianggap sebagai pelaku tindakan tak bermoral, diberi stigma (cap buruk). Padahal, mereka sesungguhnya adalah sesama warga negara yang membutuhkan sapaan dan pertolongan.
“Sekian puluh tahun kita menutup diri kita dengan pulung gantung pada saat ada kejadian bunuh diri. Pulung gantung sebagai tutuping wirang atau aib keluarga. Kalau kita cermati secara teliti, setiap kejadian bunuh diri yang menimpa warga sesungguhnya adalah perkara goncangnya kesehatan jiwa seorang warga dan keluarganya. Selama kita masih meyakini dan berpegang teguh sebagai pulung gantung, maka kita sebenarnya belum atau malas bergerak untuk menolong sesama tersebut,” ujarnya.
Mas Wage juga membuka data, bahwa pada setiap terjadi peristiwa bunuh diri, pihak Kepolisian selalu merilis dugaan penyebab hasil visum dokter dari Puskesmas. “Jelas dituliskan di laporan, depresi, sakit menahun, ada masalah keluarga, ada masalah kejiwaan sebagai dugaan penyebabnya. Mengapa kita masih sulit bergerak untuk meningkatkan ketahanan kesehatan jiwa?” tegasnya.
Mas Wage juga menengarai, bahwa mitos pulung gantung pada saat ini sesungguhnya telah mengalami pergeseran. Menurutnya, sebagian besar masyarakat sudah tidak begitu mempercayai mitos tersebut. Namun, ia melihat bahwa pada titik ini masyarakat juga dihadapkan pada keragu-raguan. Apabila ini sebagai masalah kesehatan jiwa, lantas apakah dapat ditanggulangi atau dicegah? Kendala utama dalam upaya meningkatkan ketahanan kesehatan jiwa menurutnya ada pada sikap atau perilaku kita sendiri yang diskriminatif dan lekat dengan stigma tentang kesehatan jiwa.
“Jujur, kita masih suka tidak nguwongke uwong ketika bertemu dengan saudara kita yang mengalami gangguan jiwa. Kita sering menghujat, ngolok-olok, nyinyir kepada orang dengan gangguan jiwa atau orang yang sedang menghadapi masalah kejiwaan. Dengan bangga kita menjuluki mereka dengan “gila”, “edan”, atau “stress”. Itu kondisi riil perilaku kita,” ujarnya.
Padahal, gangguan jiwa apapun itu dapat diobati secara medis. Oleh karena itulah, bunuh diri sesungguhnya dapat dicegah. Dengan cara apa dan bagaimana? Dengan cara meningkatkan ketahanan kesehatan jiwa. Dengan peduli dan membantu orang yang berisiko bunuh diri untuk menemukenali diri dan memampukan untuk mencegah risiko kejadian pada dirinya sendiri.
Deteksi Dini Risiko Bunuh Diri dan Upaya Preventif
Bunuh Diri dapat dicegah. Kalimat lugas tersebut juga ditandaskan oleh WHO dalam Laporan Suicide Prevention: A Global Imperative Program (2014). Upaya preventif pencegahan bunuh diri secara teknis dapat dilakukan dengan mengenali faktor risiko, faktor pencetus, dan di sisi lain adalah faktor pelindung terhadap risiko kejadian bunuh diri. Faktor risiko merupakan faktor kondisi bawan biologis dan hasil proses psikologi perkembangan.
WHO memaparkan, bahwa faktor risiko bunuh diri pada seseorang itu terdiri dari faktor biologis dan faktor psikologis. Faktor biologis risiko bunuh diri dapat berupa: genetika, perubahan neurotransmiter/neuroendokrin, perubahan struktural otak, vascular risk factor, dan kondisi kelemahan atau penyakit kronis dan atau kondisi terminal illness (penyakit-penyakit stadium akhir fungsi biologis tubuh).
Faktor pencetus merupakan faktor-faktor yang dapat mencetuskan kejadian bunuh diri, yang meliputi: peristiwa kehidupan yang dialami (misalnya: sedang berduka, perpisahan dengan orang yang dicintai, kesulitan ekonomi, perubahan situasi mendadak pindah rumah) dan kondisi stress kronis yang dialami (akibat disfungsi keluarga atau disharmoni).
Sementara itu, sesungguhnya terdapat faktor pelindung dalam setiap individu, yang meliputi: dukungan sosial, mekanisme coping yang sehat, dan pola hidup yang sehat. Dukungan sosial berupa: kekerabatan keluarga yang masih kuat, dukungan religiusitas dari komunitas dan lembaga keagamaan. Yang dimaksud mekanisme coping yang sehat adalah berupa mekanisme yang dimiliki seseorang dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi berupa kematangan kepribadian dan kemudahan dalam beradaptasi sosial/lingkungan. Sementara itu pola hidup yang sehat tercermin dalam asupan gizi yang seimbang, rutin berolah raga, dan pola hidup yang teratur.
Dalam sarasehan ini peserta diajak mengenal dan mempraktekkan deteksi dini risiko bunuh diri. Peserta dikenalkan adanya formulir deteksi dini risiko bunuh diri yang terdiri dari kuesioner faktor risiko bunuh diri dan kuesioner faktor protektif bunuh diri. Kuesioner yang dikenalkan ini cukup sederhana dan mudah diaplikasikan. Peserta tinggal menjawab secara jujur apa yang ditanyakan dalam kuesioner dengan menjawab “iya” atau “tidak” dalam setiap pertanyaan. Ada 13 pertanyaan dalam kuesioner faktor risiko dan ada 5 pertanyaan dalam kuesioner faktor protektif.
Risiko bunuh diri dikategorikan dalam kondisi risiko rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi. Kondisi risiko dapat diperoleh dengan membandingkan atau langkah validasi berapa skor jawaban pada faktor risiko dan faktor protektif dengan standar evaluasi risiko yang yang dirumuskan oleh para ahli kedokteran jiwa.
Para peserta nampak bersemangat. Ada yang tertawa riang, ada yang setengah kaget saat mencoba melakukan evaluasi diri terhadap faktor risiko bunuh diri. Ini menunjukkan para peserta dapat memahami dan mengaplikasikan perangkat deteksi dini risiko bunuh diri untuk dirinya sendiri.
Setelah mampu melaksanakan deteksi dini risiko bunuh diri tersebut, hal penting yang perlu dilakukan oleh siapapun sebagai upaya pencegahan (preventif) penanggulangan bunuh diri adalah dengan aktif melakukan 3 hal sederhana, yaitu: LIHAT, DENGAR, dan SAMBUNGKAN.
Lihat adalah melihat, awas atau peduli dengan lingkungan terdekat. Sekiranya mengetahui atau mendapati orang dengan risiko bunuh diri, maka selanjutnya diperlukan langkah untuk MENDENGARKAN permasalahannya, mendengarkan keluhannya, dan sekira mampu dapat memberikan saran untuk menanggulangi permasalahannya. Sekiranya memang memerlukan langkah tindak lanjut, maka siapapun dapat MENYAMBUNGKAN ke petugas medis terdekat, termasuk menyambungkan ke aparat pemerintahan terdekat agar selanjutnya mendapatkan penanganan dari pihak profesional yang terkait. Menyambungkan juga bisa dilakukan kepada tokoh masyarakat atau tokoh agama yang terdekat atas sepersetujuan dengan orang yang ditolong tersebut.
Upaya preventif yang lebih luas adalah dengan meningkatkan ketahanan kesehatan jiwa masyarakat (mental health resilience) melalui pola perilaku hidup sehat, pola perilaku hubungan antarindividu dalam masyarakat yang memungkinkan semakin matang ketahanan kesehatan jiwanya atau perilaku kepribadiannya (personality well being). Karena itu, hal-hal sepele namun bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat dapat terus dipupuk, misalnya: sikap kekerabatan dan gotong royong, tidak melakukan diskriminasi pada orang lain karena kondisi fisik dan kejiwaan, tidak memberikan stigma kepada orang lain yang mengalami disabilitas baik fisik maupun psiko-sosial.
Polsek Aktif Berkeliling Lakukan Sambang Warga
Kapolsek Tanjungsari Pak AKP Basuki menginformasikan, bahwa kepolisian melalui Bhabinkamtibmas juga telah aktif melakukan monitoring kondisi (keamanan dan ketertiban) masyarakat khususnya dalam menanggulangi bunuh diri ini melalui kegiatan sambang warga. Menurutnya, para bhabinkamtibmas di 5 desa di Tanjungsari juga terus melaksanakan kegiatan sambang warga. Meski pada saat ini belum tapis ke semua warga, kegiatan sambang warga diprioritaskan kepada para warga usia lanjut dan yang mengalami sakit menahun.
Ia mengungkapkan, selama menjabat di Tanjungsari belum pernah ada kejadian bunuh diri. Pengalaman dalam menangani kejadian bunuh diri yang pernah ia dapatkan di wilayah lain adalah masih belum dapat dilakukannya respon secara cepat untuk melakukan pemeriksaan medis terhadap korban, karena terkadang lama menunggu kedatangan petugas medis yang memiliki kewenangan melakukan visum.
KUA Siapkan Penyuluh Agama Mengedukasi Keswa
Dalam kaitannya dengan program kesehatan jiwa masyarakat dan pencegahan bunuh diri, Kepala Kantor KUA Tanjungsari Pak Mustakim menegaskan, jajarannya yang terdiri dari 9 Petugas Penyuluh Agama siap mendukung program ini. Ia juga mengungkapkan bahwa tugas KUA memang tidak terbatas pada urusan pernikahan warga saja. Dengan adanya sarasehan ini, maka pihaknya juga akan memasukkan materi pentingnya edukasi kesehatan jiwa dalam kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh para Penyuluh KUA.
Puskemas Tanjungsari Ramah Sehat Jiwa
Kepala Puskesmas Tanjungsari Pak Suwarso menyampaikan, bahwa Puskesmas Tanjungsari sudah menjadi Puskesmas yang ramah sehat jiwa. Artinya layanan kesehatan jiwa sudah menjadi bagian pokok dari layanan kesehatan masyarakat. Di Puskesmas Tanjungsari saat ini terdapat 1 dokter umum yang juga menjadi programmer kesehatan jiwa, sehingga layanan kesehatan jiwa yang diperlukan masyarakat dapat tertangani dengan lebih baik.
Ia juga mengungkapkan data, berdasarkan deteksi yang dilakukan Puskesmas pada saat ini di Kecamatan Tanjungsari terdapat 20 warga yang mengalami gangguan jiwa berat (skizofrenia) dan 232 warga yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Rinciannya di Kemadang 2 ODGJ dan 52 ODMK, Kemiri 5 ODGJ dan 56 ODMK, Ngestirejo 5 ODGJ dan 56 ODMK, Banjarejo 7 ODGJ dan 46 ODMK, dan Tanjungsari 1 ODGJ dan 22 ODMK. Menurutnya, layanan pengobatan rutin yang diperlukan ODGJ telah terselenggara di Puskesmas Tanjungsari, meskipun ada beberapa pasien yang memang masih dirujuk pengobatannya ke RSUD Wonosari. Begitu pula layanan untuk gangguan kesehatan jiwa non psikotik juga telah dilaksanakan di Puskesmas Tanjungsari.
Satu hal yang perlu diingat dan diapresiasi, tercatatnya 20 ODGJ dan 232 ODMK di Kecamatan Tanjungsari bukanlah angka yang menunjukkan aib kecamatan atau desa. Bukan angka yang membuat malu (lingsem) para pihak. Angka-angka tersebut sesungguhnya menunjukkan kepedulian para pihak, baik masyarakat, aparat pemerintah, maupun tokoh masyarakat maupun tokoh agama. Ya, kepedulian mereka untuk menolong warga, dan terus menggelorakan semangat untuk memberikan perlindungan kepada warganya.
Untuk menguatkan ketahanan kesehatan jiwa masyarakat, Pak Suwarso juga mengingatkan agar segera dibentuk TPKJM (Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat). Sebuah tim tingkat kecamatan yang mengkoordinasikan semua pelaksanaan kegiatan kesehatan jiwa di wilayah Kecamatan Tanjungsari.
Mengantisipasi Pemberitaan Negatif Media Massa
Membanjirnya pemberitaan negatif yang tidak mendidik dari media massa menjadi salah satu pembicaraan hangat dalam sarasehan ini. Menurut Pak Hendri Ketua Forum Komunikasi Karang Taruna Tanjungsari, pemberitaan negatif dan yang tidak bertanggung jawab dari media massa juga menjadi pemicu masalah kesehatan jiwa di tengah masyarakat. Menurutnya, media massa terkadang justru malah tidak melakukan pemberitaan yang mendidik terhadap kasus-kasus kesehatan jiwa dan kasus-kasus bunuh diri. Media massa justru membuat penilaian negatif dan memberikan label jelek kepada pelaku bunuh diri dan keluarganya, merendahkan martabat penyandang disabilitas psiko-sosial. Menurutnya, hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak. Ia berharap, upaya-upaya peningkatan kesehatan jiwa yang telah dilakukan secara swadaya oleh masyarakat tidak dirusak hanya untuk kepentingan ketenaran pemberitaan media.
Gangguan Jiwa Dapat Disembuhkan
Ada sebuah pertanyaan menarik dari Pak Suwarno, Ketua LPMD Desa Kemadang. Ia masih penasaran, apakah gangguan jiwa itu dapat disembuhkan. Bu Ida Rochmawati menandaskan, secara medis gangguan jiwa dapat diobati dan disembuhkan dengan pemberian pengobatan medis yang cukup dan dukungan sosial dari keluarga pasien dan dukungan sosial dari lingkungan terdekat yang memadai.
Apakah Perselingkuhan Itu Suatu Gangguan Jiwa?
Ini adalah kelanjutan pertanyaan Pak Mustakim yang saya tulis di awal artikel ini. Saat Pak Kepala KUA melemparkan pertanyaan ini, para peserta sarasehan ada banyak yang tertawa geli. Barangkali pertanyaannya dipandang aneh. Namun, sekali lagi saya tulis di sini, apa yang ditanyakan Pak Mustakim tersebut merupakan keseriusan dan kehati-hatian selaku pejabat pembina kerohanian warga masyarakat, sehingga tidak keliru melangkah dalam melaksanakan tugasnya ketika berhadapan problematika lintas sektoral dan lintas keilmuan ini.
Dokter Ida tidak memberikan jawaban secara langsung apakah perselingkuhan itu sebagai sebuah perilaku menyimpang secara kejiwaan atau tidak. Ia juga tidak menyatakan bahwa pelaku perselingkuhan adalah orang yang dipastikan mengalami gangguan jiwa. Menurutnya, ilmu kedokteran juga tidak berkompeten untuk menyatakan perselingkuhan sebagai sebuah gangguan kejiwaan.
Memang tidak mudah memberikan penilaian hitam-putih pada kasus ini. Menurut dokter Ida, sesungguhnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan untuk diperhatikan dan memperhatikan, dicintai dan mencintai. Menurutnya, mengapa sampai perselingkuhan itu yang perlu menjadi refleksi masing-masing pihak yang terlibat.
Dokter Ida menjelaskan, untuk melihat apakah perilaku seseorang itu merupakan sebuah gangguan kejiwaan, maka setidaknya ada 2 tolok ukur sederhana yang dapat diterapkan, yaitu: relasi dan limitasi. Untuk melihat sebuah kasus perselingkuhan menjadi sebuah peristiwa gangguan jiwa atau bukan, maka dapat dipertanyakan: 1) Apakah perilaku terjadi tersebut tidak menimbulkan masalah “relasi” bagi masing-masing pihak? 2) Apakah perilaku yang terjadi tersebut tidak menimbulkan masalah “limitasi” bagi masing-masing pihak?
Menurut Ida, kita semua sesungguhnya memiliki hati nurani untuk menilai setiap perilaku kita. Perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal sehat, apalagi fungsi pikir pelaku masih normal untuk berpikir, merasakan, dan menjadi dasar tindakan, maka tentu bukanlah sebuah gangguan jiwa. (JJW).