Fenomena bunuh diri di Gunungkidul rata-rata jumlahnya tak banyak berubah setiap tahun. Yakni berada pada kisaran antara 25 hingga 30 kejadian. Persoalan ini dapat dibilang baru menjadi perhatian dalam arti diupayakan penanggulangannya oleh pemerintah daerah 1 hingga 2 tahun terakhir.
Kenyataannya demikian, meski data jumlah peristiwa sejak 2001 telah tercatat dengan baik, namun sebagaimana diketahui, baru pada November 2017 lalu Pemkab menggelar konsinyering antar Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) bersama akademisi dan masyarakat pemerhati untuk merumuskan langkah-langkah penanggulangannya. Agenda utama dalam konsinyering tersebut untuk menyusun modul dan draf Peraturan Bupati (Perbup) penanggulangan bunuh diri.
Semenjak lahirnya Perbup pada awal 2019, satuan tugas yang dibentuk mulai melaksanakan beberapa tahapan kegiatan dalam lingkup penanggulangan. Sebagaimana disampaikan Kepala Subbagian Kesehatan dan Pemberdayaan Perempuan Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat, Siti Badriyah, S.Pd.,M.Pd., tahapan penanggulangan yang digelar di antaranya sosialisasi Perbup ke smua OPD, lintas sektoral, organisasi dan tokoh masyarakat, rapat koordinasi penanggulangan bunuh diri dengan peserta ketua tim penggerak PKK desa Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Playen dan juga digelar pelatihan deteksi dini penanganan faktor risiko bunuh diri dengan peserta semua ketua tim penggerak PKK kecamatan, ketua pokja I, II, III, IV kecamatan se-kabupaten bersama pengurus TP PKK Kabupaten.
“Dilakukan pula paparan penanggulangan bunuh diri di Jakarta dengan peserta anggota IKG. Kemudian disusul kegiatan rakor rencana aksi tim penanggulangan bunuh diri Kabupaten. Bulan ini direncanakan ada tindak lanjut pelatihan dengan materi teknik wawancara kepada individu yang berisiko, penyintas, dan keluarga,” papar Siti Badriyah beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan berbeda Ketua Yayasan Imaji, Jaka Yanuwidiasta mengajak untuk mencermati fakta data yang ada. Kata dia, dengan melihat statistik kejadian bunuh diri meliputi sebaran kejadian, pola geografis, dan pola kejadian semestinya dapat menjadi pemahaman bahwa kejadian bunuh diri adalah permasalahan sosial. Peristiwa bunuh diri adalah masalah kemanusiaan bersama, bukan masalah pribadi, dan juga bukan masalah yang perlu dipandang sebagai hal misterius.
Coba, pinta Jaka, periksa hasil riset sosial, ekonomi, antropologi, psikologi, psikiatri, serta penelitian-penelitian WHO serta bagaimana rekomendasi-rekomendasinya. Sehingga semua tak perlu ragu lagi bahwa bunuh diri bisa dicegah dengan menekan faktor risikonya.
Dari data peristiwa bunuh diri di Gunungkidul sejak tahun 2015 hingga 2017, dapat diketahui bahwa faktor risiko yang paling tinggi karena depresi mencapai 43 %, sakit fisik menahun 26%, tidak ada keterangan 16%, gangguan jiwa 6%, ekonomi 5%, dan masalah keluarga 4%.
Hingga selepas pertengahan Juni 2019 ini saja, telah terjadi 19 kejadian bunuh diri (yang terlaporkan), termasuk data bunuh diri warga Gunungkidul yang berada di perantauan dan warga luar yang mengakhiri hidup di Gunungkidul. Lebih berbahaya lagi, ada kecenderungan kejadian bunuh diri terjadi pada usia produktif.

Menurut Jaka, yang harus dikerjakan Pemkab dan semua elemen masyarakat setidaknya ada 3 hal besar yakni:
1) Menyadari bahwa bunuh diri dapat dicegah (suicide can be prevented). Bunuh diri adalah permasalahan kemanusiaan yang terjadi di berbagai wilayah dan negara. Bunuh diri menjadi permasalahan dengan bobot utama pada perkara kesejahteraan psiko-sosial yang sedang dihadapi pelaku dan memerlukan penanggulangan utamanya dari aspek kesehatan dan kesejahteraan sosial. Pemahaman bunuh diri dapat dicegah sudah menjadi kesadaran WHO (Badan PBB yang mengurusi kesehatan), dan sudah diimplementasikan dalam program aksi nyata oleh negara-negara lain yang menghadapi problema bunuh diri. Meletakkan persoalan bunuh diri dengan kerangka berpikir sebagai perkara mistis-misterius (yang di Gunungkidul sering dianggap karena pulung gantung sebagai penyebabnya) justru menjadikan kemandegan, menjadi penyikapan pasif, dan keengganan untuk bertindak mengatasi persoalan;
2) Pemerintah daerah bersama semua para pihak perlu menyusun peta-perjalanan (road map) penanggulangan bunuh diri, menyiapkan organ penanggung jawab pelaksana, mengedukasi pemahaman dasar kepada para pihak, serta menjalankan program-program aksi penanggulangan di tingkat masyarakat, serta;
3) Program penanggulangan (pencegahan bunuh diri, penanganan kasus bunuh diri, serta rehabilitasi pelaku percobaan bunuh diri dan keluarganya) merupakan program yang perlu terus-menerus dilaksanakan.
“Bukan program karena telah ada atau sedang ada kejadian bunuh diri, karena tidak ada seorangpun yang terbebas dari risiko bunuh diri. Upaya promotif-preventif pencegahan bunuh diri perlu terus dilaksanakan dan menjadi bagian integral dari PIS-PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga) yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat,” tandas dia.
Apabila diibaratkan angka kilometer, perjalanan penanggulangan bunuh diri di Gunungkidul masih berkutat di km 0. Perumpamaannya, memang sudah menstater motor atau mobil. Namun jalan beberapa ratus meter, tetapi masih tersendat-sendat. Berjalan kemudian berhenti, berjalan lagi kemudian berhenti lagi.
“Bahkan terkadang berhenti lama, karena masih ragu dan tidak yakin mau berangkat berjalan karena tidak yakin pada tujuan yang akan dicapai. Buktinya, sudah membuat Satgas Berani Hidup atau Tim Penanggulangan yang memiliki Perbup Penanggulangan Bunuh Diri tetapi masih lambat jalannya,” imbuh Jaka menyayangkan.
Sementara, masyarakat masih belum melihat kehadiran nyata pemerintah daerah dalam upaya rehabilitaif kejadian-kejadian bunuh diri dan upaya promotif preventif cegah bunuh diri, sudah ada beberapa kecamatan/desa/puskesmas melakukan edukasi/penyuluhan cegah bunuh diri, tapi hal tersebut belum bersinergi dengan Tim Penanggulangan tingkat kabupaten. Pihak kepolisian melalui Binmas dan Bhabinkamtibmas justru telah proaktif bergerak melakukan penyuluhan dan sambang warga dengan pendekatan kamtibmas dan pendekatan keagamaan. LSM Imaji juga turut bergerak secara mandiri dalam edukasi ketahanan jiwa masyarakat sebagai upaya promotif-preventif cegah bunuh diri melalui kelompok-kelompok PKH tingkat desa/dusun hasil kerjasama Imaji dengan Pendamping PKH.
“Satu lagi, sinergi atau membuat jejaring dengan semua pihak diperlukan dalam upaya promotif dan preventif bunuh diri, karena pencegahan bunuh diri itu sesungguhnya bisnis (upaya yang sesungguhnya dikerjakan) setiap orang,” paparnya lagi.
Hal lain, mengenai bukti bahwa perkara bunuh diri dipandang sebagai peristiwa mistis itu hanya terjadi di Gunungkidul, yakni sebetulnya bunuh diri juga terjadi daerah-daerah lain, seperti: Yogya Kota, Bantul, Sleman, Kulonprogo, Wonogiri, Temanggung, dan Grobogan, tetapi, daerah-daerah lain tersebut tidak ditemukan fenomena menautkan kejadian bunuh diri dengan penyebab mistis pulung gantung atau yang lain.
Menautkan kejadian bunuh diri dengan pulung gantung yang dianggap sebagai penyebabnya hanya terjadi di Gunungkidul dan telah berlangsung bertahun-tahun. Pihaknya menyebutkan, sejak kapan penautan itu terjadi tidak ada data yang valid. Adanya keyakinan yang berkembang di masyarakat bahwa pulung gantung sebagai penyebab kejadian bunuh diri pada akhirnya adalah proses signifikansi (proses mem-benar-kan, padahal sulit dicari kebenarannya). Sehingga kejadian-kejadian bunuh diri di Gunungkidul itu dianggap hal yang lumrah atau biasa terjadi, akhirnya masyarakat menjadi maklum (permisif) adanya kejadian bunuh diri.
Upaya mistifikasi peristiwa bunuh diri dengan menghubungkan pada pulung gantung sebagai penyebab pada dasarnya adalah upaya di bawah sadar untuk meredakan tekanan jiwa agar keluarga atau masyarakat menjadi terbebas dari rasa bersalah atas meninggalnya seseorang karena bunuh diri. Namun, di sisi lain, mistifikasi ini dapat menjadi jerat masyarakat meyakini risiko bunuh diri itu tidak bisa dicegah, menjadi faktor penyulit untuk memahami bahwa risiko bunuh diri dapat dicegah (dilakukan upaya mitigasi).
“Kejadian bunuh diri yang telah menimpa seseorang memang sudah tidak bisa dicegah atau diapa-apakan lagi. Tetapi risiko bunuh diri yang sesungguhnya juga ada pada setiap orang dapat dikelola, dapat ditanggulangi, sehingga semua orang dapat meminimalisasi risiko kejadian bunuh diri,” tegas Jaka.
Hal penting lainnya, penanggulangan adalah koordinasi antara para pihak terkait selalu dilaksanakan tindak lanjutnya. Oleh siapa? Oleh yang mestinya melakukan tindak lanjut. Kemudian dari sisi masyarakat, diperlukan sikap dan tindakan yang proaktif, open mind, mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan sosial yang terjadi. (Kandar)
***
Artikel ini sebelumnya telah ditayangkan di http://kabarhandayani.com/jalan-panjang-penanggulangan-bunuh-diri-di-gunungkidul/