Kata Mantra

Dahsyatnya kata-kata itu sungguh luar biasa. Kata-kata bisa menjadi mantra dahsyat yang mengubah hidup seseorang. Kehebatan kata-kata tak perlu diragukan lagi. Bahkan ada disebut, kata-kata adalah doa. Namun, satu perkara yang perlu diingat dan mestinya dihindari, kata-kata juga bisa menjadi kekuatan dahsyat yang melumpuhkan bahkan mematikan.

Kisah yang terjadi pada 2015 di salah satu dusun di wilayah Kecamatan Playen Gunungkidul ini menunjukkan kekuatan kata-kata itu. Bahwa ia sungguh menjadi pedang bermata dua: bisa merusak dan bisa membangun.

Mas Gigih (25 th, bukan nama sebenarnya) adalah anak muda periang, senang berkumpul dengan warga lainnya. Boleh dikatakan, keseharian ia selalu berkumpul bersama anak-anak muda di rumahnya Pak Dukuh.

“Pemuda yang entengan,” kata Pak Dukuh. Karena itu banyak yang sering minta tolong dirinya. Entah mengantar warga bepergian dengan naik motor, ngantar air isi ulang, golek pakan ternak, ikut nebang kayu, dan lainnya. Pokoknya pemuda yang luwes, mau membantu kerja apa saja.

Meski dikenal sebagai pemuda periang dan suka membantu pekerjaan warga, Gigih rupanya pandai memendam perasaan sedih yang mendalam yang sering ia alami. Ia tutup rapat dan simpan rapat-rapat kesedihan itu, agar tidak membuat susah orang lain, terutama kepada neneknya yang sudah sepuh. Keseharian ia memang tinggal bersama neneknya, sementara ibunya kerja merantau di Jakarta. Ia selalu berusaha tak menampakkan kesedihan itu di depan neneknya, karena pikirnya bakal merepotkan, bisa membuat neneknya ikut sedih dan bisa saja jatuh sakit.

Kesedihan yang dialami Gigih berawal dari niat berpacaran dengan cewek kawan sekolahnya dulu yang tidak mendapatkan restu dari orang tua si cewek. Kesedihan yang paling berat dirasakan adalah ketika ia berusaha “nembung” ke orang tua sang cewek secara baik-baik, namun justru ditolak dengan kata-kata pedas menusuk rasa harkat kemanusiaan. Itu dirasakan Gigih menjadi luka batin yang tidak terperi.

“Lha kowe iki anake sapa? Kowe kuwi anak kowar, anak a*u, bapakmu sapa ora jelas….” Itu kata-kata yang paling diingat Gigih dan yang meruntuhkan dirinya menjadi tidak berarti. Gigih tidak mau bercerita kepada siapapun. Ia tidak berani bercerita kepada neneknya. Ia tidak berani menelpon ibunya, bahkan kepada teman-teman sebayanya pun ia tidak berani curhat.

Sabtu sore 18 April 2015, selepas dari kumpul-kumpul di rumah Pak Dukuh, ia pulang dan menyendiri di rumah. Dalam kesendirian dan suasana kekalutan, Gigih mengaku terus terngiang-ngiang kata-kata yang menyakitkan yang pernah diterimanya. Tidak tahu bagaimana awal-mulanya, Gigih rupanya telah menenggak cairan pembersih lantai. Di tengah kesadaran yang sedang oleng, ia sempat meminta tolong tetangga terdekat. Secepatnya para tetangga membawa Gigih ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis. Singkat kata, Gigih terselamatkan oleh para tetangganya yang bergerak cepat membawa ke pengobatan.

“Sore itu di rumah sedang kumpul warga yang mau persiapan siaran campursari di Jogja TV. Saya tidak menduga Gigih melakukan hal itu. Lha wong anaknya itu biasa-biasa saja. Suka guyon, hampir setiap hari ngumpul di sini bersama anak saya dan kawan-kawannya. Nggak ada yang menduga ada kejadian seperti itu. Setelah ada yang ngabari, kami langsung membawanya berobat ke rumah sakit. Sekarang anaknya sudah baik-baik saja, sudah seperti biasanya. Sudah nggak apa-apa dengan kejadian yang dulu itu,” kata Pak Dukuh ketika disambangi Mas Basuki, Mas Wage dan Mas Kandar pada Februari 2017 lalu.

Ya, kata-kata sungguh menjadi mantra yang dahsyat. Kata-kata penuh ujaran kebencian, ucapan yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan seketika bisa saja menjadikan seseorang justru menjadi luluh-lantak dan memiliki keberanian luar biasa melukai diri sendiri sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri.

Emile Durkheim pernah menyinggung, bahwa integrasi dan disintegrasi sosial memiliki kaitan erat peristiwa bunuh diri yang terjadi pada kelompok masyarakat. Karena itulah kata-kata berperan penting dalam proses membangun integrasi atau sebaliknya memicu disintegrasi sosial. Kalau kita mau jujur, sampai saat ini pun tak jarang masih ada saja yang suka bersikap “sapa sira sapa ingsun” dalam konteks negatif. Terkadang berkata-kata keras, pedas, penuh kebencian untuk meninggikan mutu diri dengan merendahkan harkat martabat sesamanya.

Gigih anak muda itu berusaha tegar. Ia tak mau sambat kepada ibunya, kepada neneknya, kepada kawannya, atau kepada tetangga terdekatnya. Ia seorang diri menanggung serangan ujaran pelecehan dan kebencian yang menusuk hati. Itu membuat luka batinnya menjadi menganga lebar dan memantik daya rusak dari dalam dirinya sendiri. Semesta masih menyayangi Gigih, ia masih berani minta tolong, dan terselamatkan oleh kebaikan warga yang peduli situasi yang dihadapinya.

Pertemanan dengan Mas Gigih dengan kawan-kawan berawal dari acara dolan ngaruhke kahanan pada awal 2017 itu. Perjumpaan dengan sedulur-sedulur penyintas selalu mendatangkan makna-makna yang baru bagi kami. Pertemanan menjadi akrab, saling ngaruhke ketika ketemu. Rekan kami Mas Basuki yang sering ketemu dengan Gigih, karena ternyata sebagai sesama pekerja “sor terop”. Saat Basuki menjalankan jasa motret manten, ia beberapa kali bersua Gigih yang menjadi tenaga luwes penyedia jasa sound system. Di kesempatan itulah, Gigih semakin berani menyampaikan isi hatinya manakala perlu.

Gigih mengaku, iya benar ia pernah melakukan tindakan yang disebutnya sebagai “hal terbodoh” yang pernah ia lakukan. Pengakuan tindakannya dipicu oleh kata-kata pelecehan menyakitkan yang pernah diterimanya. Itu pun baru diungkap olehnya pada pertengahan 2019 lalu. Sewaktu mengungkap, Gigih juga meminta maaf telah menyebutkan kembali kata-kata yang tidak pantas karena ada nama binatang seperti yang pernah ia terima.

Gigih memahami siapa dirinya dan siapa keluarganya di tengah masyarakat. Ia memang hanya bisa pasrah ketika dirinya menjadi bahan olok-olok orang yang sering mempermasalahkan asal-usul dan status sosial. Ia menyadari, dirinya memang anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal dan dititipkan pada neneknya di desa. Satu hal yang menjadi pegangan dirinya, ia yakin layak untuk bisa bergaul di tengah masyarakat, meski seburuk apapun kondisi dirinya termasuk siapa ayahnya yang belum diketahui sampai saat ini.

Ibu Gigih sewaktu muda pergi merantau dan mencari nafkah di Jakarta. Gigih sendiri adalah anak perantau yang lahir di Jakarta dan dibesarkan di desa bersama neneknya. Saat ibu Gigih bekerja ikut orang di Yogya. Kepindahan ibunya bekerja di Yogya semakin membuat Gigih lebih bersemangat. Kini keseharian Gigih bekerja membantu tetangga jualan air isi ulang dan jasa cucian mobil motor. Gigih terkadang juga bekerja sebagai tukang sound system milik tetangganya saat musim orang hajatan atau ada kegiatan pentas.

Selamat berjuang Gigih sedulurku. Jalan masih panjang, hari esok masih terbentang.

***
#ayokitabisa
#bersamamencegahbunuhdiri
#workingtogethertopreventsuicide
#suicidevoorkomjesamen
#nohealthwithoutmentalhealth.

***
Catatan teks: Kisah ini diunggah atas persetujuan dari penyintas yang ditulis. Foto: Belajar bersama ibu-ibu PKK Kec Karangmojo, 2018.

***

Catatan #2 menuju World Suicide Prevention Day, Sep 10, 2020.

Penulis: J Yanuwidiasta.

Facebook Comments
Top