Sebut saja Sar (49), nama samaran untuk laki-laki penderita gangguan mental karena kecelakaan ini merupakan salah satu warga di Gunungkidul yang masuk dalam daftar Dinsos yang pernah mengalami pemasungan atau dikurung.
Selama kurang lebih 3-4 bulan ia dikurung di dalam sebuah kamar. Keluarganya memutuskan mengurung karena perilaku yang membahayakan akibat gangguan jiwa yang dideritanya.
Sebagaimana disampaikan sang kakak, sewaktu masih bujang sekitar tahun 1992 Sar jatuh dari sepeda motor saat berjualan bakso. Kecelakaan tersebut membuat ia mengalami gangguan jiwa karena saraf otak kecilnya bermasalah akibat terjatuh.
Sebenarnya, tutur ibu dua anak ini, adiknya sempat tak mengalami dampak berarti pasca jatuh. Tiga tahun setelah kecelakaan itu ia hidup normal. Namun, karena ditengarai adanya beban fikiran dan desakan keinginan yang tidak kesampaian, ia berubah menjadi pemarah dan terkadang kalap. Ia tidak bisa mengontrol emosi, mentalnya mengalami kelainan, kadang berbicara dan mengumpat sendiri.
“Awalnya sempat dilarang menikah dengan wanita pilihannya, karena alasan wanita yang dicintai masih terlalu muda dan memiliki sedikit kelainan mental bawaan sejak kecil,” katanya.
Namun setelah melalui pertimbangan, akhirnya Sar dinikahkan. Awal menjalani bahtera rumah tangga tak ada problema serius, beberapa tahun berselang, Sar dikaruniai dua anak. Belakangan karena dimungkinkan adanya permasalahan sosial berupa desakan ekonomi, gangguan mental Sar kambuh.
Sambungnya, apabila beban pikiran berlebih Sar hilang ingatan dan suka marah-marah, serta kadang-kadang melakukan tindakan berbahaya yakni melempari genteng rumah dan kaca jendela tetangga.
Tindakan yang semakin tidak terkontrol membuatnya terpaksa dipasung atau dikurung di rumah kakaknya. Semenjak kondisi kejiwaan semakin memburuk, ia dipulangkan dari rumah istrinya, kemudian kembali tinggal bersama keluarga kakaknya.
“Terpaksa dikurung selama 3-4 bulan karena suka mengamuk, keterbatasan biaya dan pengetahuan kami terpaksa mengurungnya selama itu,” katanya
Kemudian dengan bantuan tenaga medis Puskesmas terdekat dan dokter spesialis dibawa ke Pakem. Selama dua bulan di Pakem, kenangnya, Sar merasa bosan sehingga melarikan diri. Sar merasa tidak ada masalah dengan dirinya serta mengaku kangen dengan keluarganya, maka dengan berbagai pertimbangan ia diperbolehkan pulang.
“Di rumah saya rawat, namun tetap harus kontrol ke RSUD dengan psikiater minimal tiga bulan sekali, serta minum obat secara rutin tiap pagi dan sore, apabila habis obat minta ke Puskesmas terdekat,” kata kakaknya lagi.
Selepas dari Pakem, ia sempat ikut kursus otomotif di Balai Latihan Kerja (BLK) Wonosari, karena reparasi sepeda motor tergolong rumit menyebabkan ia sempat frustasi, berperilaku aneh atau ada gejala kambuh, sehingga ia diminta berhenti saja.
Berdasar pengalaman merawat, sang kakak jadi tahu apa pantangan-pantangan yang dapat menyebabkan Sar kambuh. Kekambuhan di antaranya disebabkan karena capek, beban pikiran berlebih serta melakukan sesuatu yang rumit.
“Di rumah paling kerjaannya menyapu, bersih-bersih lalu tidur, beberapa hari terakhir ia mau diajak bekerja suami saya. Ikut kerja bangunan harus selalu diajari apa yang harus dilakukan, dengan sabar suami saya mendampingi,” urai sang kakak Nnampak sedih.
Meski dengan upah yang berbeda, ia bersedia menerima demi mencukupi kebutuhannya sendiri. Sebatas untuk beli sabun dan sesekali memberi uang jajan apabila anaknya mendatanginya. (Kandar)