Sering menjadi bahan pertanyaan mengapa kita menyambut hari pencegahan bunuh diri kok malah terjadi peristiwa bunuh diri? Bukankah itu tandanya peringatan ini hanya gaya-gayaan supaya sok kelihatan aktif peduli? Semua bebas berpendapat.
WHO dalam terbitan Suicide Prevention: Global Imperative pernah menyatakan, pencegahan bunuh diri adalah suatu rangkaian kerja keras, berdurasi panjang dan butuh peran serta semua pihak. Sebagai upaya yang terus-menerus tentu saja menguras energi, terkadang membikin ati semplah, bahkan terkadang merasa usahanya sia-sia. Karena itu, kolaborasi menjadi kata kunci. Bersama-sama bekerja dan juga bekerja sama mengambil bagian sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Upaya penanggulangan bunuh diri memang bukan perkara instan sebagaimana membuat kopi sachetan yang begitu diseduh di air panas langsung siap sruput membikin segar trengginas. Berharap pencegahan bunuh diri cukup dilakukan dengan kampanye, deklarasi desa bebas bunuh diri atau cukup pasang spanduk di pojok jalan tentunya menjadi absurd. Berteori begitu merayakan hari cegah bunuh diri lantas berharap bakal tidak ada kejadian bunuh diri juga hal gak logis.

Catatan ini sengaja dibuat singkat. Biarlah gambar dan data yang bicara. Sumangga.
***
#workingtogethertopreventsuicide
***
Catatan: Foto: (1) Data jumlah kejadian bunuh diri di Gunungkidul 2001-2018 (termasuk percobaan bunuh diri, disajikan ulang dari data Polres GK). (2) Data jumlah kejadian BD menurut kelompok usia pelaku pada 2005-2008 (diolah dari data Polres GK). Kita sering berasumsi pelaku BD itu mayoritas kaum lansia, tetapi kejadian yang menimpa usia produktif (18-60 th) faktanya justru lebih dominan. (3) Collaborators in suicide prevention (IASP brochure in WSPD 2020).
***
Catatan #7 menuju World Suicide Prevention Day, Sep 10, 2020
Penulis: J Yanuwidiasta.