Membicarakan bunuh diri senantiasa menjadi perdebatan panjang antara perlu dan tidak perlu diperbincangkan. Yang setuju tak perlu dibicarakan karena beralasan bahwa membicarakan bunuh diri itu seperti ngundhat-undhat orang yang sudah meninggal, tidak baik membicarakan “aib” orang, orang bunuh diri itu bukan tanggung jawab kita, dan seterusnya. Sementara, yang memandang perlu dibicarakan juga didasari alasan masuk akal juga, membicarakan karena menyangkut kepentingan bersama sebagai anggota masyarakat, agar dapat dicari upaya penanggulangannya, dan seterusnya.
Tulisan ini tidak berfokus pada perdebatan alasan perlu atau tidak perlu membicarakan masalah bunuh diri. Tetapi tulisan ini memaparkan data dan fakta peristiwa bunuh diri di Gunungkidul dari tahun 2001 sampai 2017 (tanggal 28 Mei 2017). Dengan melihat secara jernih data dan fakta peristiwa bunuh diri tersebut, maka kita sesungguhnya dapat melakukan refleksi diri, dan menarik simpul-simpul apa, bagaimana, mengapa, dan sebaiknya bagaimana, dan seterusnya. Do something or do nothing. Beranjak melakukan sesuatu atau cukuplah kita berdiam diri saja.
Refleksi itu setidaknya untuk diri kita sendiri. Lantas bagaimana seharusnya pemerintah dan masyarakat? Pemerintah dan masyarakat biarlah para pemimpin pengambil kebijakan yang menentukan, karena mereka tentu adalah orang-orang yang terpilih dan dipilih karena cerdas, pandai, kapabel, dan tentu bijaksana.
Peristiwa Bunuh Diri di Gunungkidul dari Tahun ke Tahun
Bunuh diri pada saat ini masih menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, dalam periode 2001 – 2016 terdapat 458 kejadian bunuh diri. Apabila dirata-rata, maka dalam 17 tahun terakhir, terdapat 28-29 kejadian bunuh diri dalam setahun. Kemudian pada tahun 2017, selama 5 bulan terakhir terdapat 18 kejadian bunuh diri, atau dalam sebulan rata-rata terjadi 3-4 kejadian.

Sementara itu, untuk rentang waktu bulan kejadian secara tahunan dapat dilihat dalam gambar di bawah ini. Terlihat terdapat pola di mana pada bulan-bulan tertentu (jelang dan pasca hari raya, bulan-bulan sibuk ada perhelatan/jagongan, dan bulan-bulan tahun ajaran baru anak sekolah memiliki angka kejadian yang tinggi.

Peristiwa bunuh diri dengan berbagai cara yang berujung terjadinya kematian tidak wajar atau tidak alamiah sampai saat ini masih terus menjadi bahan perdebatan dari sisi etika moralitas dan juga pandangan keagamaan. Namun, yang perlu menjadi catatan penting adalah, bahwa peristiwa bunuh diri sesungguhnya sebuah peristiwa kemanusiaan perlu mendapatkan penangangan bersama baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Peristiwa tingginya angka bunuh diri dari tahun ke tahun ini sesungguhnya menjadi salah satu indikator riil adanya permasalahan kesehatan jiwa dan kesejahteraan masyarakat yang perlu ditanggulangi dalam rangka mewujudkan masyarakat “Gunungkidul Unggul”, sebuah idealisasi masyarakat yang maju, cerdas, sejahtera, dan berkeadilan sosial.
Sebaran Kejadian Bunuh Diri Menurut Lokasi
Dalam periode 2001 – 2008, tidak ada wilayah kecamatan di Gunungkidul yang terbebas dari kejadian bunuh diri. Jumlah kejadian per wilayah kecamatan dalam periode waktu tersebut berada dalam rentang 5 – 26 kejadian. Sementara itu, untuk periode 2015 – 2017 ini, jumlah kejadian per wilayah kecamatan berada dalam rentang 2 – 12 kejadian.

Perlu mendapat perhatian, dalam periode 2001-2008, ada 10 wilayah kecamatan dengan kejadian dominan peristiwa bunuh diri berturut-turut adalah: Karangmojo, Semanu, Semin, Tepus, Wonosari, Nglipar, Playen, Ngawen, Patuk, dan Ponjong. Semua area tersebut adalah berada dalam sabuk-utama perkembangan sosio-ekonomi wilayah Gunungkidul (jalur transportasi utama Gunungkidul).

Untuk periode 2015-2017, tidak ada perubahan yang signifikan dari 10 wilayah kecamatan dengan kejadian dominan peristiwa bunuh diri tersebut. Kejadian bunuh diri tetap didominasi pada wilayah yang justru merupakan sabuk sabuk-utama perkembangan sosio-ekonomi wilayah Gunungkidul (jalur transportasi utama Gunungkidul). Ke-10 wilayah kecamatan tersebut adalah: Wonosari, Semanu, Playen, Semin, Karangmojo, Ponjong, Ngawen, Tepus, disusul wilayah yang sebelumnya rendah peristiwa bunuh dirinya yaitu Girisubo dan Gedangsari.
Secara faktual dan melihat kejadian sampai saat ini, peristiwa bunuh diri tetap terjadi di seluruh wilayah kecamatan di Gunungkidul. Dengan tidak mengesampingkan prioritas perhatian pada wilayah yang memiliki kerentanan kejadian bunuh diri, maka upaya penanggulangan peristiwa bunuh diri dan terutama upaya promotif dan preventif perlu dilakukan mencakup seluruh wilayah kabupaten Gunungkidul.
Kelompok Usia Pelaku Bunuh Diri
Usia pelaku bunuh diri berdasarkan data kejadian 2005 – 2008 didominasi oleh kelompok usia warga sepuh (lanjut usia >60 th) 39%. Kemudian justru kelompok usia dewasa muda 18 – 45 th sebanyak 34%, dan usia dewasa lanjut 46 – 60 th sebanyak 20%, dan sisanya 7% dilakukan oleh usia < 18 th.

Sementara, data kejadian 2015 – 2017 menunjukkan, usia pelaku bunuh diri berdasarkan didominasi oleh kelompok usia warga sepuh (lanjut usia > 60 tahun) 44%. Kemudian justru kelompok usia dewasa lanjut 46 – 60 th sebanyak 31%, dan usia dewasa muda 18 – 45 tahun sebanyak 24%, dan sisanya 1% dilakukan oleh usia < 18 tahun.
Dari data periode 2005 – 2008 dan periode 2015 – 2017 tersebut, keduanya menunjukkan, bahwa kelompok usia dewasa muda dan dewasa lanjut atau yang disebut usia produktif bekerja sesungguhnya merupakan kelompok yang tertinggi pelaku bunuh diri, yaitu 54% (2005 – 2008) dan 55% (2015 – 2017).

Fenomena ini menjadi temuan penting, bahwa peristiwa bunuh diri tidak senantiasa terkait dengan pelaku faktor usia lanjut, tetapi kejadian di wilayah Gunungkidul justru menunjukkan warga usia produktif justru paling rentan menjadi pelaku bunuh diri. Disamping itu, kejadian bunuh diri yang menimpa usia remaja juga tidak boleh diabaikan, karena pernah terjadi juga. Periode 2005-2008 mencapai 7% dan periode 2015-2017 tercatat ada sebesar 1%.
Profesi/Pekerjaan Pelaku Bunuh Diri
Dilihat dari profesi atau pekerjaannya, berdasarkan data kejadian 2005 – 2008, pelaku bunuh diri di Gunungkidul didominasi oleh warga dengan profesi/pekerjaan sebagai petani sebesar 79%. Disusul kemudian oleh kelompok profesi/pekerja swasta (pegawai swasta, buruh, wiraswasta) 11%, pelajar 5%, lain-lain 3%, dan PNS/TNI/Polri/Pensiunan 2%.

Sementara itu, berdasarkan data kejadian 2015 – 2017, maka pelaku bunuh diri di Gunungkidul tetap didominasi oleh warga dengan profesi/pekerjaan sebagai petani sebesar 70%. Disusul kemudian oleh kelompok profesi/pekerja swasta (pegawai swasta, buruh, wiraswasta) 25%, lain-lain (termasuk PNS/TNI/Polri/Pensiunan) 4%, dan pelajar 1%.

Cara Bunuh Diri
Dilihat cara bunuh dirinya, berdasarkan data kejadian 2015 – 2017, maka cara bunuh diri di Gunungkidul didominasi dengan cara gantung diri sebesar 73 kejadian. Disusul kemudian dengan cara masuk luweng 2 kejadian, dan terjun ke sumur 1 kejadian.
Perlu dicatat, bahwa dalam 3 tahun terakhir ini juga terdapat 5 kejadian percobaan bunuh diri (peristiwa bunuh diri yang gagal, pelaku dapat diselamatkan), yaitu: dengan cara minum racun 2 kejadian, gantung diri 1 kejadian, dan naik/terjun dari tower 1 kejadian.

Faktor Risiko Bunuh Diri
Sampai saat ini belum diperoleh hasil penelitian yang mampu mengungkap penyebab utama dari kejadian bunuh diri. Dalam jurnal-jurnal terkait, senantiasa disebutkan penyebab bunuh diri adalah multi-faktorial. Artinya tidak ada penyebab tunggal kejadian bunuh diri. Oleh karena itu, dikenal faktor risiko bunuh diri atau secara sederhana disebut sebagai faktor-faktor pencetus (trigger) kejadian bunuh diri.
Berdasarkan catatan yang dikumpulkan pihak kepolisian dan pihak medis dalam melakukan visum et repertum pada kejadian bunuh diri di Gunungkidul, maka dapat dipaparkan faktor risiko sebagai pencetus utama kejadian bunuh diri sebagai berikut: depresi 43%, sakit fisik menahun 26%, tidak ada keterangan (dugaan penyebab tidak dapat diidentifikasi) 16%, sakit/gangguan jiwa 6%, masalah ekonomi 5%, dan masalah keluarga 4%.

Pergeseran dari Mitos Pulung Gantung ke Problematika Kesehatan dan Psikososial
Berdasarkan penelusuran lapangan yang dilakukan terhadap kejadian-kejadian terakhir, secara faktual sudah tidak dijumpai adanya pernyataan dari keluarga, tetangga, perangkat desa, dan tokoh masyarakat yang menyatakan adanya faktor mistis (pulung gantung atau dituntun kekuatan gaib) sebagai penyebab kejadian bunuh diri. Sebagai bukti riil: tokoh masyarakat, dan perangkat desa bahkan sudah ada yang dapat memberikan keterangan perilaku pelaku yang kebingungan (mondar-mandir), adanya perkataan atau sikap yang tidak wajar dari pelaku, dan bahkan adanya “perselisihan pendapat” pelaku dengan keluarganya, dan sebagainya. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa masyarakat perlahan-lahan sudah dapat menemukenali gejala-gejala dini risiko bunuh diri secara sosio-medikal dan bisa meninggalkan mitos adanya “pulung gantung” atau “pengaruh gaib” sebagai penyebab kejadian bunuh diri.
Meski demikian, dalam beberapa kejadian terakhir masih dijumpai adanya masyarakat yang memegang teguh dan mempercayai adanya mitos-mitos tersebut, termasuk mencari “gelu” (bulatan tanah) yang diyakini ada di bawah lokasi kejadian gantung diri.
Bunuh Diri adalah Peristiwa Kemanusiaan
Menilik data dan fakta peristiwa bunuh diri dalam kurun waktu 2001 – 2017 tersebut di atas, sesungguhnya semakin mendekatkan diri pada realitas bahwa peristiwa bunuh diri adalah peristiwa kemanusiaan. Peristiwa yang dapat menimpa siapa saja entah kaya-miskin, terpandang-tidak terpandang, cerdas-tidak cerdas, rajin beribadah atau kurang rajin beribadah. Satu hal yang dicatat bahwa, peristiwa-peristiwa bunuh diri senantiasa menunjukkan adanya gejala pendahuluan berupa kegoncangan dalam kehidupan dan perasaan hilangnya harapan hidup. Peristiwa yang sesungguhnya butuh kehadiran empati (bela-rasa), menyayangi pelaku sebagai sesama manusia, sebagai sesama ciptaan Sang Pengada Kehidupan. Bukan sebaliknya cercaan, umpatan, cemoohan, caci-maki kepada pelaku sebagai seorang pengecut, pelaku perbuatan aib, sampah masyarakat, dan sejenisnya.
Oleh karena itu, sekali lagi pendekatan kesehatan mental atau psikis menjadi relevan dalam upaya penanggulangan permasalahan bunuh diri. Itu semua juga kembali berpijak pada slogan Gunungkidul Unggul. Unggul tentu termasuk masyarakatnya yang unggul mengolah akal budi dan olah rasa paling dalam yang disebut hati nurani.
—
Penulis: J Yanuwidiasta.