Ini bukan tentang sepotong imajinasi di awang awang, bukan juga tentang drama yang menguras air mata, atau upaya untuk mendapatkan simpati. Salah besar…. Ini tentang ketidakmampuan membedakan antara khayal dan nyata.
Kali ini kita akan membincangkan tentang skizofrenia sebagai salah satu faktor risiko bunuh diri. Risiko bunuh diri pada skizofrenia sebesar 5%.
Dalam keseharian seringkali orang menjadikan topik orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai bahan candaan, diolok olok, dikucilkan bahkan diperlakukan sebagai “kriminal”, terutama orang dengan gangguan jiwa berat (psikotik/skizofrenia). Ini sangat menyakitkan.
Tapi tahukah kita, berada dalam situasi tersebut tidak mudah. Bayangkan orang dengan skizofrenia berada dalam ruang yang mungkin menakutkan. Ia yakin ada orang yang akan membunuhnya, mendengar bisikan yang menyuruhnya menyakiti diri, melihat orang orang di sekitarnya tampak aneh dan pengalaman inderawi lain yang sulit diterima akal sehat. Buat mereka, semua itu tampak nyata dan mereka seperti terkurung dalam dunianya sendiri dan itu sangat menyiksa. Sementara diluar sana, orang lain melihatnya tampak aneh, kacau bahkan lucu. Sesekali mereka kembali ke dunia nyata, merasakan kesedihan dan punya keinginan yang sama seperti orang lain pada umumnya, disayangi, dimengerti dan dihargai sebagai sesama manusia. Namun ruang asing dalam dirinya terus melingkupi. Itulah yang dirasakan saudara saudara kita yang menderita Skizofrenia.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang serius yang membuat seseorang kesulitan menafsirkan realita normal. Gejala umum berupa halusinasi (gangguan persepsi berupa respon panca indera tanpa adanya obyek/stimulus), delusi/waham (keyakinan palsu yang tidak dapat diubah dan dihayati sehingga mereka hidup di dalam wahamnya), pemikiran dan pembicaraan yang kacau, gejala negatif (emosi yang datar, menarik diri, sedikit berkata kata) dan sebagainya. Gejala ini mempengaruhi sendi sendi kehidupannya sehingga kualitas hidupnya terganggu. Mereka tidak bisa menjalankan fungsi peran dan fungsi sosial sebagaimana umumnya.
Mengapa orang dengan skizofrenia berisiko bunuh diri? Berbeda dengan depresi. Pada depresi risiko bunuh diri dikaitkan dengan pikiran negatifnya, ketidak berdayaan dan keputus asaan sedangkan pada skizofrenia risiko bunuh dirinya disebabkan halusinasi dan wahamnya.
“Saya mendengar bisikan yang mengolok-olok saya. Mengatakan, kamu dajjal, kamu pendosa, kamu harus dihukum. Lalu bisikan itu mengatakan matilah kamu…Saya seperti dikuasai kekuatan gaib yang menuntun saya ke tepi sumur. Saya melihat orang orang melihat dengan tatapan curiga. Mereka sudah melaporkan saya ke polisi. Saya memang pendosa dan harus menghukum diri saya sendiri.”
Ini adalah salah satu ilustrasi kekacauan berfikir pada penderita skizofrenia yang berisiko bunuh diri. Gejala yang dominan bertema rasa bersalah, kecurigaan dan pikiran aneh yang sulit dijelaskan secara akal sehat. Halusinasi yang bertema olok-olok, waham curiga dan waham kejar bercampur aduk jadi satu. Jadi perilaku bunuh dirinya akibat dari halusinasi dan wahamnya. Lagi lagi ini bukan persoalan kelemahan, mengada ada atau upaya mencari perhatian. Gejala tersebut disebabkan hiperaktivitas sistem dopaminergik di otak terutama dopamin-2 di area mesolimbik. Dopamin-2 adalah salah satu jenis dopamin yang bertanggung jawab pada gejala skizofrenia. Berdasarkan teori tersebut, skizofrenia bisa diobati sama seperti penyakit fisik yang lain dengan memberikan obat anti psikotik. Diharapkan dengan pemberian obat anti psikotik, dopamin-2 dapat dikendalikan sehingga waham dan halusinasi yang mendorong perilaku bunuh diri dapat hilang. Namun untuk mencapai pemulihan optimal perlu dukungan psikologis, sosial dan spiritual.
Gangguan mental lain yang berisiko bunuh diri adalah depresi pasca skizofrenia. Mereka memiliki gejala depresi seperti pada umumnya. Pada penderita skizofrenia yang sudah pulih, insight (tilikan diri) dan kemampuan menilai realita pulih kembali. Saat itu ia menyadari betapa pahit realita hidup yang sesungguhnya. Belum lagi adanya stigma dari diri sendiri dan masyarakat bahwa ia mantan penderita gangguan jiwa. Hal ini merupakan stresor tersendiri yang membuatnya depresi dan mendorongnya mengakhiri hidup karena realita begitu pedih. Itulah sebabnya penting bagi keluarga dan orang dekat melakukan pendampingan sungguh sungguh pada mereka yang baru saja pulih dari skizofrenia.
Namun banyak penderita skizofrenia yang telah pulih justru menjadi sosok yang hebat dan menginspirasi. Mereka berani membuka diri dan membuktikan pada dunia, skizofrenia bukan aib, bukan tidak bisa dipulihkan dan mereka telah menjadi pemenang sekaligus menjadi berkat buat sesama. Bahkan beberapa caregiver mampu menggerakkan kesadaran bersama untuk peduli pada kesehatan jiwa. Merekalah pahlawan sesungguhnya. Karena itu STOP menjadikan orang gangguan jiwa sebagai bahan candaan. STOP STIGMA pada orang dengan gangguan jiwa.
“Jangan pernah meremehkan dan menganggap rendah orang lain, boleh jadi mereka lebih mulia darimu karena mereka telah menjalani derita untuk mengajarimu cara berempati tanpa kamu harus mengalaminya.”
***
Day 6 (Sepuluh hari tentang suicide, dalam rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, 10 September 2020). Penulis: Ida Rochmawati*