Oikos-nomos

“Mak, apa uripku wis ora ana gunane?” Itulah kata-kata yang meluncur ke ibu kandungnya ketika anak muda dari suatu dusun Gunungkidul pada 4 Sep 2020 lalu mengakhiri hidupnya secara tragis dengan meminum potas. Pertanyaan sekaligus curhatan yang dilontarkan hari-hari terakhir sebelum anak muda melakukan aksinya. Ini menjadi pukulan berat bagi ibunya dan sanak-keluarga yang terdampak.

“Siang sebelum kejadian, dia naik motor lewat depan rumah pergi jajan soto ke warung dekat sekolah, lha sorenya tahu-tahu dikabari ada kejadian,” ungkap Pakdenya sedih.

Sebelum peristiwa tragis itu, anak muda ini sempat pulang ke rumah menengok ibu dan simbahnya. Mbah putrinya sempat memberikan uang 100 ribu tanda cinta kepada cucunya sewaktu pamit pulang.

Memang ada banyak orang yang sering menilai, anak tersebut memang “nakal”. Tetapi ada banyak orang yang paham, bahwa anak muda tersebut sesungguhnya menanggung beban berat sejak masih kanak-kanak. Sehari-hari ia hanya dibesarkan oleh mamak dan simbahnya. Bapak kandungnya pergi meninggalkan ia dan ibunya. Ada tetangga yang tahu betul, anak muda ini pada waktu masih kecil belum waktunya bekerja sudah ikut “ngeret-eret” traktor bajak ladang untuk mencari sesuap nasi.

Ada banyak yang menilai, anak muda ini terhempas sampai mengakhiri hidup secara tragis karena ia memang nakal. Ia tidak punya tanggung jawab ke istri dan anaknya. Ia tidak baik keagamaannya, ekonominya sulit, dan penilaian-penilaian buruk lainnya. Benarkah penilaian dan penghakiman buruk mesti ditimpakan ke anak muda ini?

Kita sering memandang ekonomi itu ya semata masalah kecukupan harta benda, uang, uang, dan uang. Kita kadang lupa, ekonomi sesungguhnya adalah oikos-nomos, menata rumah tangga. Oikos-nomos bagaimanapun juga menyangkut bagaimana menerima dan menjalani pernak-pernik rentetan perjalanan hidup.

Kita terkadang meniadakan akar kepahitan demi kepahitan hidup yang membentuk penerimaan, respon dan kecakapan menyelesaikan masalah yang dilakukan seseorang. Daripada menilai apalagi membully, ada baiknya kita melihat dan memahami beban berat yang diterima dari kepahitan-kepahitan hidup, bagaimana cap dan perlakuan buruk yang diterima, pupusnya harapan mendapatkan perlindungan dan cinta kasih figur ayah yang belum pernah diperolehnya.

Ada seorang ibu dan anaknya pada sebuah dusun di Gunungkidul yang pergi begitu saja dari rumah dengan membawa bandhat. Ia telah menyiapkan tali hewan ternak itu untuk mengakhiri hidup karena sudah tidak kuat menerima kekerasan fisik dan verbal justru dari keluarga dan para tetangga. Pernah ia ditempeleng karena dianggap membuat onar keluarga. Padahal masalah besar yang melingkupinya tidak sesederhana yang sering dilihat dan dibicarakan orang.

Praktik baik mencintai hidup, merawat kebaikan, dan memulihkan diri dari kesulitan-demi kesulitan hidup bukan perkara yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar. Mbok Sathis, janda sepuh dari Desa Botodayaan Rongkop ini telah membuktikan. Hanya dengan kekuatan cinta, semua belenggu bisa dirobohkan. Seto alias Antok, ponakannya yang mengalami gangguan jiwa berat itu ia rawat dan pulihkan. Belenggu pasung yang dikenakan selama 12 tahun pada ponakan berhasil diruntuhkan. Kasih sayang Mbok Sathis kepada Seto tak berbatas, dengan tulus dan telaten ia merawat Seto menjadi pulih dari deritanya. Ya, Mbok Sathis sesungguhnya telah mempraktikkan oikos-nomos itu.

Membangun kehidupan yang lebih baik, berharap tidak ada kejadian bunuh diri lagi di kemudian hari tidak cukup hanya dengan menyuruh-nyuruh orang lain agar berperilaku baik menurut tatanan moral dan ajaran keagamaan atau tips-tips teoritis lainnya. Tetapi itu perlu dilakukan bersama-sama. Mari, bersama-sama dan bekerja bersama untuk mencegah bunuh diri.

***

#ayokitabisa

#bersamamencegahbunuhdiri

#workingtogethertopreventsuicide

#suicidevoorkomjesamen

#nohealthwithoutmentalhealth.

***

Catatan #8&9 menuju World Suicide Prevention Day, Sep 10, 2020.

Penulis: J Yanuwidiasta.

Facebook Comments
Top