Sebagai makhluk holistik, manusia ibarat duduk di kursi yang ditopang empat kaki yakni biologi, psikologi, sosial dan spiritual. Apabila satu kaki tersebut patah, atau tidak seimbang panjangnya, kursi tidak dapat dipergunakan dengan baik.
Pada edisi sebelumnya kita banyak membahas tentang peran biologi, psikologi dan sosial sebagai faktor risiko gangguan jiwa berat yang berdampak pada bunuh diri. Tulisan ini merupakan opini pribadi berdasarkan telaah literatur dan pengamatan terhadap orang orang sekitar. Dengan tetap menghormati pendapat sebagian orang bahwa bunuh diri tidak ada kaitannya dengan spiritual dan religi, sehingga saya tidak membuka ruang untuk berdebat karena keterbatasan saya.
Spiritual dan religi tampaknya sama namun sebenarnya ada sedikit perbedaan. Dirangkum dari berbagai sumber spiritualitas diarahkan kepada pengalaman subyektif dari apa yang relevan secara eksistensial untuk manusia. Spiritual adalah nilai nilai yang menjadi spirit bagi seseorang untuk dapat/ mampu memperhatikan apakah hidup itu berharga dan juga fokus untuk melihat mengapa hidup ini berharga. Menjadi spiritualis berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Sedangkan religius sering dikaitkan dengan keagamaan dan ketaatan/keshalehan seseorang dalam menjalani ibadah. Religius dipersonifikasi dengan simbol simbol keagamaan baik dari penampilan, aktivitas ibadah dan perilaku yang diatur oleh agamanya masing masing.
Lalu bagaimana spiritual dan religi bisa menjadi faktor proteksi terhadap gangguan jiwa?
1. Nilai-nilai spiritual menciptakan tanggung jawab atas kehidupan itu sendiri.
Hidup ibarat panggung sandiwara, setiap orang memainkan peran masing-masing. Peran itu saling terkait satu sama lain. Bila kita meninggalkan peran atau meninggalkan pangung secara tiba-tiba tentu akan berdampak pada pemain lain dan lingkungan yang terkait dengan peran kita. Boleh jadi sikap tersebut merupakan sikap yang kurang bertanggung jawab. Meninggalkan peran bukan tentang diri kita sendiri tetapi terkait dengan orang lain yang terhubung dengan kita.
2. Nilai nilai spiritual menciptakan alasan mengapa kita harus tetap hidup dan melanjutkan hidup.
Untuk melanjutkan hidup perlu alasan karena pada dasarnya apa yang diciptakan Tuhan selalu punya manfaat bagi sesama. Banyak orang yang merasa hidupnya tidak bermakna sehingga ia tidak punya alasan untuk melanjutkan hidup. Spiritual membuat kita bisa fokus melihat bahwa hidup kita berharga untuk diri sendiri dan orang lain.
Bagaimana dengan nilai nilai religius?
1. Religiusitas memandang agama sebagai way of life (jalan hidup).
Agama lewat kitab sucinya banyak memberikan petunjuk bagaimana bersikap ketika hidup kita terpuruk. Misal ada ayat yang berbunyi, “Jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu” dan “Allah tidak akan mencoba hambanya melebihi kemampuannya”, “Hati yang gembira adalah obat,” dan sebagainya. Nilai nilai religius menuntun kita untuk tetap optimis menghadapi kehidupan.
2. Aktivitas religius memberikan ketenangan sekaligus pencerahan.
Aktivitas ibadah bukan sekedar ritual tanpa tujuan. Ada aktivitas menggerakkan tubuh, mengulang-ulang kata/kalimat, komunikasi dengan Tuhan dan kontemplasi.Hal ini akan memberikan efek ketenangan sehingga tubuh menjadi relaks dan gelombang otak berada di gelombang alfa. Gelombang alfa adalah gelombang otak yang memungkinkan seseorang mendapat ketenangan dan memberikan perasaan nyaman. Dalam keseharian, biasanya kita mempergunakan gelombang beta (gelombang waspada). Aktivitas ibadah juga akan mengaktifkan aliran darah ke prefrontal cortex (PFC) bagian otak pusat eksekusi dan kebjiaksanaan. Diharapkan mereka yang mengalami depresi dimana terjadi kekacauan sistem neurotransmitter di otak sistem kesimbangan bisa terbangun lagi sehingga seseorang dapat berfikir jernih. Hormon endorfin juga akan meningkat dengan beribadah dan ini akan memberikan perasaan bahagia.
Bagaimana pendekatan spiritual dan religi bisa diterapkan pada mereka yang punya ide bunuh diri?
Tidak diragukan lagi spiritual dan religi merupakan faktor proteksi untuk mencegah bunuh diri namun pendekatannya harus tepat waktu dan sesuai kebutuhan agar pendekatan kita tidak menjadi penghakiman atau bahkan menjadi stresor baru.
“Ingat, pada orang yang mengalami depresi ada distorsi kognitif dimana ia menjadi overthinking, negative thinking dan memiliki ide/waham bersalah. Sehingga pendekatan spiritual dan religi perlu memperhatikan kapasitas seseorang dan waktu yang tepat.”
***
Day 7 (Sepuluh hari tentang suicide, dalam rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, 10 September 2020)
Penulis: Ida Rochmawati