Stigma

Memberikan stigma itu mudah, tetapi sebaliknya menjalani hidup terstigma itu tidak mudah. Dua sisi yang bekebalikan, disadari atau tidak, perkara stigma menimbulkan kondisi tidak enak, sakit, tidak nyaman. Ujungnya jelas, nambahi beban orang yang diberi stigma termasuk sanak keluarganya untuk beranjak dari permasalahan dan kesulitan yang sedang menimpa.

Memberikan stigma bisa jadi dilakukan seseorang tanpa disadarinya. Karena itu boro-boro ia mampu memahami dampak yang bisa ditimbulkan. Memberikan stigma bisa jadi merupakan kebiasaan atau memang disengaja dengan sepenuh hati dan segenap akal budi. Tujuannya buat pemuas dirinya sendiri, karena itu gak peduli orang lain gimana. Prinsipnya, “urusan kamu ya kamu sendirilah yang ngrampungin, kenapa menuntut saya harus ikut membantu?”

Stigma sering ditemui dalam keseharian, entah dalam pembicaraan atau dalam tulisan. Sesungguhnya, apa sih stigma itu? Kenapa perlu kita bicarakan?

Mudahnya, stigma adalah pandangan atau cap negatif atau buruk yang diberikan kepada seseorang atau kelompok orang. Misalnya: “Hmmm, anak ini nakalnya kayak setan”, “Jangan deket-deket bergaul dengan dia, dia itu anak gampang depresi, ntar kamu ketularan lho!”…. “Pantesan dia terkena gangguan jiwa, lha wong keluarganya suka berbuat dosa, gak taat beragama”….. “Eh.. kowe kuwi priyayi, ijih trahing kusuma rembesing madu, ora pantes kekancan karo kae sing mlarat, bodho, wong ndesa meneh….”.

KBBI mendefinisikan stigma sebagai “ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya”; atau mudahnya “tanda” (yang tentunya berkonotasi negatif pula). Kata “stigma” tanpa diberi embel-embel negatif pun memang sudah bermakna negatif.

Dalam kamus Oxford ’stigma’ dimaknai dengan “a mark of disgrace associated with particular circumstances, quality, or person”. (Suatu cap keaiban yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang). Ya, makna stigma memang pemberian cap negatif.

Asal-mula kata “stigma” lebih jelas lagi dengan merunut penjelasan kamus Merriam-Webster berikut: stigma was borrowed from Latin stigmat- , stigma, meaning “mark, brand,” and ultimately comes from Greek stizein, meaning “to tattoo.” Earliest English use hews close to the word’s origin: stigma in English first referred to a scar left by a hot iron—that is, a brand. In modern use the scar is figurative: stigma most often refers to a set of negative and often unfair beliefs that a society or group of people have about something—for example, people talk about the stigma associated with mental illness, or the stigma of poverty.

Kata ’stigma’ mulai dipakai orang pada tahun 1593, untuk merujuk pada cap besi panas yang di-cap-kan pada hewan ternak untuk menandakan kepemilikan. Selanjutnya kata ’stigma’ ini juga diartikan sebagai cap dari besi panas yang dibubuhkan pada kulit para budak dan penjahat untuk menandai bahwa mereka adalah kelompok orang yang ternista (negatif) yang perlu dijauhi masyarakat. Itulah asal-muasal “stigma” itu memang berkonotasi negatif.

Nah, sekarang kembali ke topik semula. Salah satu tantangan tidak kalah ringan dalam penanggulangan kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri adalah problematika stigma. Pandangan buruk atau cap negatif ini masih ditemui dalam ruang publik maupun yang langsung ditimpakan ke sedulur-sedulur yang mengalami masalah kejiwaan, keluarganya, bahkan masyarakat di sekitarnya.

Tidak ada orang dengan gangguan jiwa yang tidak ingin sembuh. Semua ingin pulih, kembali hidup normal sebisanya semampunya. Semua penyintas termasuk keluarga yang menemani ingin ter-entas-kan dari permasalahan yang menderanya. Demikian pula keluarga-keluarga dari pelaku bunuh diri ataupun orang yang selamat dari tindakan percobaan bunuh diri, semua juga ingin pulih, juga ingin kembali hidup normal sebisanya semampunya.

Saya tidak akan menulis “do and don’t” yang teoritis tentang melawan stigma. Saya hanya pengen menulis, tidak memberikan stigma adalah ketika seseorang yang membiarkan dan justru memberi jalan dan tidak mengganggu saat penyintas gangguan jiwa atau penyintas keluarga bunuh diri berupaya bangkit, berjalan merangkak untuk bisa kembali berjalan tegak. Tidak memberikan stigma adalah ketika kita hanya punya korek api di saat berjalan di kegelapan, maka korek itu segera kita nyalakan agar semua berjalan dengan pelan. Meski nyala kelap-kelip kecil memungkinkan semua tidak nubruk-nubruk terantuk batu atau terjungkal ke jurang. Tidak membuat semakin berat penderitaan dengan anggapan dan cap negatif itu sudah mampu meringankan langkah.

Langkah pemulihan orang dengan gangguan jiwa dan penyintas bunuh diri memang tidak semudah dan secepat membalik telapak tangan. Sudah 8 tahun lebih seorang ibu penyintas skizofrenia (36 th) di daerah Girisubo menjalani pengobatan rawat jalan dari rumah sakit di Wonosari. Suaminya memulangkan dirinya dari perantauan. Ia masih berjuang dan tertatih-tatih untuk pulih dari deritanya. Pikiran kacau masih sering muncul, ada bayangan dan suara-suara yang menyuruhnya untuk gantung diri saja. Masih beruntung, bapak ibunya petani sepuh sekuat tenaga menanggung biaya pengobatan rutin. Mereka selalu berusaha menenangkan dan menjaga agar tidak ada kejadian tak terduga. Ini sebuah fakta perjalanan hidup penyintas yang berliku, tidak ringan, dan menguras airmata tentunya.

Masihkah kita jumawa melakukan stigma? “Dadi uwong ki mbok sing solutif,” kata Bu Tejo di film Tilik.

***

#ayokitabisa

#bersamamencegahbunuhdiri

#workingtogethertopreventsuicide

#suicidevoorkomjesamen

#nohealthwithoutmentalhealth.

***

Catatan #5&6 menuju World Suicide Prevention Day, Sep 10, 2020

Penulis: J Yanuwidiasta.

Facebook Comments
Top