Sebuah peristiwa tragis terjadi di satu dusun di wilayah Panggang Gunungkidul pada hari Minggu, 1 Oktober 2017. Totok (bukan nama sebenarnya), pria berusia 45 tahun ditemukan telah meninggal di kandang ternak tak jauh dari rumahnya. Jasad Totok ditemukan menantunya dalam posisi tergantung di kandang sapi di ladang tak jauh dari rumahnya.
Hasil pemeriksaan petugas Polsek Panggang dan Puskesmas Panggang II menunjukkan tidak ada tanda-tanda kriminalitas. Oleh pihak yang berwenang, Totok dinyatakan meninggal karena bunuh diri.
Banyak pihak keheranan. Motif apa yang membuat Totok mengambil tindakan tragis itu. Pertanyaan tersebut muncul di antara warga di sekitar tempat tinggalnya, karena Totok dikenal berkepribadian baik, tidak nampak ada persoalan di dalam keluarga maupun perselisihan dengan tetangga.
“Ia menjalani keseharian sebagaimana warga tani pada umumnya. Semangat ke ladang, kerja tebang kayu, dan lain-lain. Kenapa Totok tega terhadap dirinya sendiri?” Itu isi hati yang dilontarkan Pak Dukuh Sudiyono.
Sebagai tetangga dekat yang rumahnya hanya dipisahkan jalan, Sudiyono bagaimanapun masih merasakan duka yang dialami keluarga Totok. Ia masih tertegun dan keheranan atas peristiwa tersebut. Sudiyono meyakini, permasalahan yang dihadapi warganya tersebut bukan perkara ekonomi. Sebab, tiga hari sebelum Totok mengambil jalan tragis itu baru saja membeli satu ekor sapi. Bahkan tidak lama sebelumnya ia baru saja menggelar hajatan melangsungkan pesta perkawinan anak sulungnya.
Dari situ, Pak Dukuh meyakini bahwa perkara ekonomi bukan menjadi penyebab. Rumah tinggal Totok sendiri berupa rumah joglo besar dengan kayu jati. Ini juga menunjukkan perekonomian keluarga ini di atas rata-rata warga sekitarnya.
Saat Sudiyono memperbincangkan kejadian yang baru saja menimpa warganya, ia mencoba menelusuri beberapa hal penting. Menurutnya, Totok juga memiliki kesehatan fisik yang bugar.mDalam pergaulan masyarakat desa, Totok dikenal sebagai orang yang baik pergaulannya. Orangnya pendiam, tidak mau membuat repot orang lain.
Satu hal yang paling diingat Pak Dukuh, Totok memiliki perasaan halus hatinya. Terlebih kepada anak-anak, ia tak pernah berbuat kasar, termasuk ketika ia berbicara sekalipun. Lantas, Pak Dukuh kelahiran 1963 ini mencoba menarik jauh kebelakang. Ia menceritakan riwayat kehidupan Totok yang ia ketahui.
“Saat Totok masih kecil, ibunya bercerai dengan bapak tiri. Beranjak tua, ibunya jompo dan sakit lumpuh. Sudah ada sekitar 20-an tahun ia merawat ibunya yang jompo itu,” urai Sudiyono.
Merawat ibu sembari menjalani kehidupan keluarga hari demi hari dijalani Totok. Tak pernah ia mengeluh tentang kondisi keluarganya. Totok tak ingin merepotkan tetangga atau membebani pikiran orang lain atas segala sesuatu yang dihadapi. Itu diketahui Pak Dukuh melalui ungkapan dan ucapan terimakasih seolah tak habis disampaikan oleh Totok ketika para tetangga pernah membantu kerepotannya.
Sudiyono juga mengungkapkan, Totok juga dikenal sebagai warga yang tidak tega melihat peristiwa yang menyedihkan. Ketika menjumpai sesuatu peristiwa yang memprihatinkan dirinya tak sampai hati.
“Pernah saat istrinya menahan sakit yang teramat sangat saat hendak melahirkan anaknya yang kedua, ia justru merasa sangat sedih tidak tega. Kesedihan Totok saat itu justru diungkapkan dengan cara membentur-benturkan kepalanya di dinding,” terang Pak Dukuh.
Pak Dukuh melanjutkan cerita. Dalam merawat ibunya, Totok dibantu anak pertama. Anak yang belum lama dinikahkan itu semenjak mulai dewasa sudah dapat diajak bekerja sama mengatasi kerepotan keluarga. Membantu segala jenis kerepotan keluarga, termasuk merawat nenek atau ibu dari bapaknya.
Rutinitas keseharian keluarga memang tak mampu sepenuhnya dikerjakan oleh Totok. Lebih-lebih istrinya juga sedang menderita diabetes. Ketika mengalami kekambuhan, upaya pengobatan dan perawatan juga cukup merepotkan.
“Sepertinya, itu yang menjadi beban pikiran Totok. Setahu saya dirinya memang tak mau berkeluh atau bercerita kepada tetangga,” imbuh Pak Dukuh.
Sikapnya yang enggan merepotkan orang lain, menurut Pak Dukuh membuat almarhum lebih sering memendam rasa dan berusaha menanggung sendiri beban pikiran yang dialami. Sebelum kejadian yang memilukan yang menimpa Totok, diketahui anak bungsunya juga sedang mengalami sakit batuk.
“Belakangan, putri sulungnya yang telah menikah itu hendak diajak boyongan ke rumah suami. Meski hanya berjarak puluhan meter saja dari kediaman Totok, sepertinya itu menjadi beban,” terang Pak Dukuh.
Pak Dukuh juga menepis anggapan bahwa kematian Totok karena pengaruh pulung gantung. “Warga di dusun kami rata-rata sudah tidak mempercayai hal seperti itu menjadi penyebab bunuh diri,” ungkapnya.
Pada saat kejadian memang ada warga yang meminta agar tanah di bawah lokasi gantung diri itu digali untuk dicari “gelu’-nya. Warga sudah menggali dan mencari. Tetapi butiran tanah yang disebut gelu tersebut tidak ditemukan.
“Saat ini, setiap malam sepanjang 7 hari kami mengikuti doa Yasinan di rumah almarhum. Itu yang mampu kami lakukan untuk menemani dan mengurangi duka keluarga yang ditinggalkan,” pungkas Pak Dukuh Sudiyono, yang saat ditemui sedang menabur benih padi di ladangnya.
***
Catatan teks: Kisah ini hasil penelusuran peristiwa yang dilakukan mas Wage Daksinarga dan mas Sukandar. Pernah dimuat di media online Kabarhandayani 5 Okt 2017. Diunggah ulang sebagai catatan bahwa semua pihak dapat berperan dalam menanggulangi, memulihkan keluarga terdampak peristiwa bunuh diri, serta mencegah kejadian serupa di kemudian hari.
***
#ayokitabisa
#bersamamencegahbunuhdiri
#workingtogethertopreventsuicide
#suicidevoorkomjesamen
#nohealthwithoutmentalhealth.
***
Catatan #3 menuju World Suicide Prevention Day, Sep 10, 2020
Penulis: J Yanuwidiasta.