Waktu menunjukkan pukul 18.45 WIB. Petang berangsur menjadi malam. Warga baik secara perorangan maupun rombongan berduyun-duyun datang memadati halaman gedung DPRD Gunungkidul. Usai mengisi lembar absensi kehadiran, mereka lantas duduk di tikar yang disediakan panitia. Sabtu malam lalu, (5/10/2019) minggu pertama bulan Oktober ini Yayasan IMAJI bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Gunungkidul dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Yogyakarta menyelenggarakan sarasehan Peduli Kesehatan Jiwa Fokus Pada Pencegahan Bunuh Diri di Gunungkidul.
Lagu Indonesia Raya khidmat berkumandang di halaman DPRD tanda dibukanya acara. Tamu yang mengisi daftar hadir tercatat 271 orang, mereka yang langsung mengikuti acara tak mengisi presensi perkiraan ada sekitar 50-an orang. Satu demi satu tahapan pembuka dilalui. Beberapa pihak diminta oleh pembawa acara menyampaikan sambutan. Ada di antaranya Ketua DPRD Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih dan perwakilan Pemkab Gunungkidul Siti Badriyah.
Harapan-harapan tindak lanjut dari agenda dialog tertuang dalam sambutan para tokoh itu. Ada yang seksama mendengarkan ada pula yang sambil lalu. Ada yang lebih sibuk minum dan menikmati menu angkringan sambil ngobrol dengan teman di sebelahnya. Acara dialog publik ‘Angkringan Kesehatan Jiwa’ memang digagas oleh panitia dalam format berbeda dari sarasehan biasanya. Peserta duduk pakai tikar, hidangan berupa menu angkringan, yang tentu saja khas kuliner akar rumput dan merakyat. Hal tersebut tidak terlepas dari keinginan panitia. Dari skema acara yang digagas itu, panitia ingin menyebarluaskan pengetahuan tentang kesehatan jiwa ke masyarakat dalam bahasa yang mudah dipahami dan tidak menakutkan.
Saat keduanya didampingi keluarga beranjak dari tempat duduk di deretan tamu penting, ratusan pasang mata memusatkan pandangan ke mereka. Nurhidayati naik ke panggung didampingi adik dan anaknya. Sementara Marsudi, yang mengalami disabilitas fisik karena kakinya diamputasi didampingi istri.
Kepada panitia, kedua tamu istimewa ini tanpa keberatan mengaku siap dan bersedia memberikan kesaksian mengenai apa yang dialaminya. Pengakuan yang disampaikan demi mengungkap sebuah fakta yang tentu saja selama ini jarang diketahui oleh publik. Keduanya menyampaikan pengalaman bagaimana problema kejiwaan yang mereka alami sehingga tindakan percobaan bunuh diri sempat dilakukan.
Dipandu dr Ida Rochmawati, testimoni pertama disampaikan Nurhidayati. Suasana mendadak menjadi tenang saat perempuan yang kini mengasuh Ponpes Tahfidz Qur’an ini mulai berbicara. Nur berkisah, ketika dalam episode psikotik memuncak, ia pernah melakukan percobaan bunuh diri. Ia mengaku sempat hendak memotong tangan. Tak hanya itu saja, ia juga sempat hendak menceburkan diri ke sumur.
Dirinya bercerita, keanehan itu ia alami setelah serangkaian peristiwa hidup dilalui. Ia pernah mengalami sakit fisik yang berulang kali kambuh saat tinggal di pondok pesantren ketika hendak menghafal Qur’an. Nur sebelumnya juga pernah menjadi pengasuh di sebuah Ponpes namun kemudian dicampakkan, ia tiba-tiba diminta berhenti menjadi guru ngaji. Peristiwa itu terjadi saat ia tinggal di Bogor Jawa Barat.
Ia terpukul. Nur mengalami depresi berat. Karena kondisinya itu, oleh saudara ia mengaku dibawa pulang ke Patuk. Sekembali di rumah orang tuanya di Pengkok Patuk, Nur mengalami goncangan fikiran yang hebat. Lagi-lagi kenyataan pahit yang lain harus dialami. Atas suatu sebab, suaminya kemudian menceraikannya. Persis keruntuhan keluarganya terjadi tidak berselang lama dengan gempa hebat yang mengguncang Jogja tahun 2006 silam. Atas goncangan kejiwaan berat itu membuatnya harus dirawat di RS Sardjito. Di rumah sakit tersebut, Nur menjadi paham, ia didiagnosis mengalami skizofrenia, sebuah gangguan jiwa tergolong berat.
Pada hari-hari saat mengalami gangguan jiwa berat, Nur mengaku, hal-hal yang dialami menjadi aneh. Ia mengaku selain mendengar bisikan perintah melakukan suatu tindakan yang membahayakan nyawanya. Ia juga pernah mengalami melihat banyak ular bergelantungan di tembok. Ia juga merasa banyak ular mengerubuti tubuhnya. Setiap kali melihat tembok terkadang juga muncul gambar-gambar suaminya. Nur merasakan, seolah di TV dan radio juga menyiarkan kejelekan dirinya. Bahwa ia salah, ia sombong dan hal-hal negatif lainnya.
Nur sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Sepulang dari rumah sakit, kondisinya terus dipantau oleh keluarga. Dirinya lantas menjalani pengobatan rutin di RSUD Wonosari. Sejumlah obat harus ia minum secara teratur. Dengan begitu gangguan suara yang sempat mengendalikan dirinya hilang, bisikan yang pernah dituruti yang berujung percobaan bunuh diri tak ada lagi.
“Pengobatan alternatif, ke orang pintar atau paranormal, bahkan metode rukyah tak membuat saya membaik. Aneka ritual yang dijalani tak berpengaruh,” tegas dia.
Anggapan bahwa Nur diganggu makhluk gaib atau yang disebut lelembut dan sejenisnya tak terbukti. Ulasan dokter ahli, Dr. dr. Budi Prastiti, MSc. SpKJ., yang menjadi nara sumber pada dialog menerangkan, bahwa Nur mengalami halusinasi pendengaran dan halusinasi penglihatan.
Kini, Nur mampu bangkit. Ia dapat berkarya secara produktif menjadi pengasuh Pondok Pesantren. Ia melanjutkan asa menghafal Qur’an sembari mengasuh santri di Ponpesnya. Pulihnya kondisi Nur tak lepas dari keluarga besarnya yang sangat perhatian mendukung pemulihan Nur. Kakak, adik, dan anak laki-lakinya selalu mengingatkan agar Nur selalu menjaga kondisi, rutin minum obat. Mereka juga selalu mengantar ke RSUD saat berobat rutin.
Berbeda dengan Nurhidayati, apa yang dialami Marsudi ketika melakukan percobaan bunuh diri dipicu karena depresi yang sedang menimpanya. Ulasan dokter ahli Dr. dr. Carla Marchira, M.Sc., Sp.KJ menyebutkan, tumpukan persoalan hidup, ekonomi, psikologis, dan sosial membuatnya mengalami keputusasaan dan mengambil tindakan yang mengancam nyawa. Marsudi selamat karena istri, orang tua, dan para tetangga bergerak cepat menolongnya dan membawa ke rumah sakit. Racun yang sempat ditenggaknya dapat dinetralisir dengan diobati di rumah sakit. Peran keluarga yang mendukung terus-menerus membuat pemulihannya lebih cepat. Keterbukaan untuk bicara, kedekatan hubungan dengan orang terdekat memiliki peran penting mengatasi depresi.
Dulu Marsudi bekerja sebagai tukang las. Peristiwa buruk percobaan bunuh diri yang pernah terjadi dipicu kondisi depresi karena mengalami sakit yang memaksa harus diambil tindakan amputasi pada salah satu kakinya. Marsudi kini adalah sosok yang tegar. Kondisi disabilitas yang dialaminya tidak membuat dirinya mengeluh. Ia kini bekerja membuka usaha laundry. Usahanya ini dipilih setelah ia mendapatkan pendampingan dan pelatihan dari sebuah NGO di Yogyakarta.
Marsudi juga terus mendapatkan penguatan melalui berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendampingan disabilitas fisik dan lembaga disabilitas psikososial. Ia mengaku, semakin bersemangat ketika berkesempatan mengikuti pertemuan-pertemuan kelompok disabilitas, baik di Wonosari, di Yogyakarta, maupun di Jakarta.
“Saya dan istri ingin mengantarkan anak bungsu saya bisa lulus sekolah dan bekerja,” pungkasnya. (Kandar)