Fakta bahwa depresi menjadi faktor risiko paling tinggi kejadian bunuh diri di Gunungkidul benar adanya. Sebagaimana data yang dimiliki Polres Gunungkidul, untuk setiap tahunnya rata-rata lebih dari 40 persen pelaku sekaligus korban bunuh mengalami depresi. Sementara faktor risiko berikutnya yakni: karena sakit menahun, gangguan jiwa berat, masalah ekonomi, dan lain-lain.
Bahkan Jaka menyebut, jika dicermati mendalam, faktor risiko selain depresi yang dialami pelaku sebelum mengambil tindakan mengakhiri hidup pun sebetulnya melalui fase depresif. Hanya saja gejala yang nampak dipermukaan dianggap bukan sebagai gejala depresi.
“Materi yang diberikan seputar mengenali depresi dan cara penanggulangannya. Juga disampaikan materi pertolongan pertama psikologis (psychological first aid),” terang Jaka.
Agenda tersebut terlaksana berkat kerja sama dengan mahasiswa Ilmu Komunikasi President University Jababeka Bekasi.
Menurut Sekretaris IMAJI, Basuki Rahmanto, antusiasme masyarakat utamanya golongan usia muda terhadap pengetahuan seputar kesehatan jiwa khususnya persoalan depresi cukup tinggi. Sehingga apabila ada komentar miring oknum pejabat di sektor terkait yang justru menyebut bahwa sosialisasi tak ada gunanya terhadap persoalan kesehatan jiwa dan penanggulangan bunuh diri ditengarai sebagai bentuk alibi saja.
“Disampaikan lebih dalam, dengan harapan peserta memahami secara komprehensif apa itu depresi, gejala, penyebab, diagnosis, dan cara menanggulanginya,” kata Basuki.
Harapan selanjutnya, mereka (peserta) dapat menolong diri sendiri dan menolong sesama yang sedang menghadapi krisis dalam perjalanan kehidupannya. Peserta pelatihan juga dapat menjadi agen perubahan dan dapat melawan stigma (pandangan yang keliru dan menyesatkan) terhadap permasalahan kesehatan jiwa.
Harapan IMAJI terkait peserta pelatihan agar menjadi relawan direspon positif. Sebagaimana disampaikan Yeni Yustiani, dirinya meminta pendalaman tingkat lanjut mengenai skill dan ketrampilan menjadi relawan, berikut mendapat pengalaman langsung penanganan atau pertolongan pertama orang yang mengalami depresi.
“Dibutuhkan pula wadah relawan sebagai penggerak kesehatan jiwa,” kata Yeni.
Senada dengan Yeni, peserta lain, Triyono menilai, ketrampilan dapat melakukan pertolongan pertama dalam menangani kecelakaan bencana alam dan depresi yang tepat dan cepat sangat dibutuhkan.
“Saya butuh ketrampilan dan kemampuan yang mumpuni untuk memberikan pertolongan pertama bagi orang yang mengalami kecelakaan yang berakibat cidera fisik dan juga menolong orang yang mengalami depresi,” ujar Triyono. (Kandar)