“Mboten prayogi ngepal tiyang sanes“. Tidak baik merendahkan orang lain. Itu pelajaran moral yang kami peroleh. Mak jlebb, menukik tajam dalam sanubari. Kalimat itu datang dari Mbah Harto, petani sepuh dari Dusun Kedungpoh Tengah Nglipar Gunungkidul. Disampaikan saat menutup pertemuan rutin warga penerima manfaat PKH di balai dusun pada awal 2017 lalu.
Lanjutan ceritanya simak kisah berikut ini. Awal keterlibatan teman-teman Imaji dengan kegiatan PKH (Program Keluarga Harapan) bermula dari perkawanan kami dengan Mas Danang Prasetya sebagai sesama penyuka hobi motret. Mas Danang penyuka street-photography ini keseharian berkarya sebagai pendamping atau fasilitator PKH di Gunungkidul.
PKH adalah program dari Kementerian Sosial yang menyasar warga pra-sejahtera. Selain pemberian bantuan langsung tunai, yang tidak kalah penting adalah adanya proses pemberdayaan agar para penerima manfaat menjadi semakin berdaya. Semakin sehat, kuat, sejahtera, produktif. Bagi keluarga yang punya anak usia sekolah terjamin sekolahnya, dan bagi para lansia dapat menjalani hari tuanya dengan bahagia.
Salah satu proses pemberdayaan tersebut dilakukan dengan kewajiban setiap bulan untuk berkumpul dan belajar bersama dalam kelompok yang disebut FDS (Family Development Session). Materi FDS beraneka ragam: dari mengatur keuangan keluarga, pembagian tugas anggota keluarga, tips mengasuh anak, latihan senam sehat, latihan praktek home-industri membuat criping singkong atau rengginang atau kripik bayem, dan sebagainya. Materi pembelajaran bergantung kebutuhan dan kreativitas para pendamping.
Suatu ketika Om Pras punya ide untuk mengenalkan topik kesehatan jiwa di kelompok PKH dampingannya. Gayung bersambut, teman-teman pun menjawab “siap komandan”. Langsung meluncur ke dusun tersebut pada hari yang ditentukan.
Materi singkat pengenalan apa dan bagaimana kesehatan jiwa disampaikan oleh Mas Basuki. Kemudian dilanjut Mas Wage tentangnya pentingnya mengenali depresi, cara menanggulangi, juga cara mendapatkan pertolongan apabila diperlukan, karena depresi yang tak tertanggulangi bisa berdampak pada peristiwa bunuh diri.
Mas Bas dan Mas Wage juga menyampaikan aneka masalah kesehatan jiwa yang masih terjadi di masyarakat. Bagaimana masyarakat kita justru lebih suka ngrasani, ngarani, ngolok-olok juga ngelek-elek kepada orang dan keluarga yang lagi mengalami masalah kejiwaan daripada memberikan pertolongan atau setidaknya diam saja agar mereka berkesempatan memulihkan diri.
Pada saat penjelasan berlangsung, Mas Bas mengamati ada seorang ibu peserta yang tertunduk dan meneteskan air mata. Ketika disapa, sang ibu tersebut menceritakan bahwa anggota keluarganya memang sedang mengalami masalah kejiwaan. Anaknya sudah sekian bulan lebih banyak mengurung diri di kamar. Ia memberanikan diri bertanya bagaimana mengatasinya. Mas Bas dan Mas Wage menjelaskan dan mengajak para peserta untuk memahami bahwa mengalami permasalahan kejiwaan itu hal lumrah yang biasa terjadi pada siapapun, tidak memandang kaya-miskin, pangkat-derajat, agama dan ketaatannya bagaimana, atau latar pendidikan sekalipun. Permasalahan kejiwaan sesulit apapun pasti bisa diatasi, asalkan ada kemauan.
Mas Bas kemudian menanyakan kepada ibu tersebut, apakah pernah menceritakan hal yang dialami kepada tetangga terdekat dan apakah pernah membawa berobat ke puskesmas terdekat. Mas Wage menimpali, bahwa di setiap puskesmas saat ini sudah ada programmer kesehatan jiwa. Setiap dokter umum yang berdinas di puskesmas pun sudah dibekali ilmu dan kemampuan melayani kesehatan jiwa tingkat dasar, sehingga siapapun yang membutuhkan layanan kesehatan jiwa dapat berkonsultasi dan berobat ke puskesmas.
“Mari manfaatkan layanan kesehatan jiwa di Puskesmas. Dokter umum dan tenaga kesehatan di puskemas pun sudah dididik menangani masalah kesehatan jiwa, obatnya pun tersedia. Jika memerlukan penangangan lanjut pasti bakal dirujuk ke RSUD. Manfaatkan kartu sehatnya Pak Bu, apalagi pake kartu itu gratis lho,” ujar mas Bas.
Pertemuan kelompok warga dusun yang diikuti sekitar 60-an peserta itu sempat berlangsung haru. Untuk memecahkan keharuan, teman-teman kemudian menyelipi dengan humor dan guyonan segar. Mengajak semua peserta tertawa dengan hal-hal baik yang ditemui karena hidup memang terkadang senang dan susah. Dan akhirnya kami semua bisa mentertawakan kesedihan masing-masing sebagai obat kegembiraan.
Sebelum pertemuan di Dusun Kedungpoh Tengah tersebut ditutup, seorang pria sepuh mengacungkan jari, pria yang kemudian kami kenal bernama Mbah Harto tersebut ingin menyampaikan uneg-unegnya.
“Kula sakpunika gadhah pangertosan, perkawis kesehatan kanyata mboten bab sehat fisik kemawon, wonten kesehatan jiwa. Kula dados mangertos, sinten kemawon saged nandhang masalah kejiwaan, ning ternyata saged pados usada teng puskesmas napa rumah sakit. Dados sakniki kula mangertos, kula sedaya mboten prayogi ngepal tiyang sanes, krana napa ingkang tiyang sanes nembe lampahi saged ugi kedadosan ing kula,” ungkap mbah Harto. “Jadi sekarang saya mengerti, kami semua sebaiknya tidak merendahkan orang lain, karena penderitaan yang sedang dirundung orang lain juga dapat terjadi di saya.”
Sepulang dari pertemuan tersebut, kami serombongan sempat membincangkan apa yang diungkap Mbah Harto tadi. Ternyata, pendidikan yang lebih baik yang masing-masing kami jalani kadang-kadang belum membuahkan kebaikan dan kebijakan sebagaimana diungkap warga dusun yang kadangkala dicap ndesit, bodoh, ketinggalan jaman, dan julukan-julukan negatif lainnya.
Beberapa minggu setelah pertemuan tersebut, Om Pras juga mengabarkan, bahwa ibu yang sempat tertunduk dan menangis itu sudah menjadi sumringah mengikuti pertemuan-pertemuan kelompok. Ia telah membawa anaknya berobat ke Puskesmas dan kondisinya semakin membaik.
Menutup kisah hari ini, saya ingin membuka diri, mengapa saya dan teman-teman suka blusukan dan ikut-ikutan mengurus permasalahan kesehatan jiwa. Ngapain sih ini orang-orang kok ada-ada aja yang dilakukan? Jangan-jangan ini orang-orang punya motivasi pengen ini-itu, pengen meraih sesuatu di kemudian hari. Golek bathi, golek-golek dalan dadi legislatif atau eksekutif? Jangan-jangan, ini orang pada pengen panjat sosial?
Bukan. Kami semua melakukan itu karena kami merasakan derita apa yang dirasakan sedulur-sedulur yang sedang mengalami permasalahan kesehatan jiwa. Salah satu pintu masuk untuk berupaya secara riil dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pencegahan bunuh diri di Gunungkidul adalah melalui pendekatan kesehatan jiwa. Karena faktor dominan pemicu kejadian bunuh diri adalah kondisi depresi, faktor-faktor lain yang sering dianggap sebagai faktor utama justru relatif kecil.
Kami semua yang sering melakukan blusukan ini adalah keluarga-keluarga penyintas masalah kesehatan jiwa, sehingga berbagi pengalaman dan menemani perjalanan melanjutkan hidup adalah cara yang bisa kami lakukan. Saya adalah keluarga penyintas gangguan jiwa berat yang bernama skizofrenia. Orang banyak sering menjuluki sebagai lara edan, gendheng, kenthir, gila, dsb.
Saya adalah suami dari istri yang terus berupa untuk bisa hidup sehat normal dan gembira sampai ajal menjemput kami. Mas Wage juga keluarga penyintas, adiknya mengalami problema tumbuh-kembang mental sejak sekitar kelas 4 SD. Ia dan keluarganya terus merawat dan mendampingi kebutuhan khusus adik yang disayanginya. Mas Basuki punya “dendam” yang belum terobati, ia sangat menyesal karena tidak sempat memberikan pengobatan terbaik swargi buleknya yang menderita depresi.
Teman-teman lain, Mas Wahyu, Paklek Sop, Mas Kandar, bu Ida? Mereka kawan-kawan yang memiliki minat dan pergerakan yang sama untuk berbagi tentang perjuangan ini.
Post Views: 409