“Aja susah, musibah kuwi kudu ditrima kanthi ikhlas, ngono kuwi minangka cobane Sing Kuwasa. Padha rukun lan tetulung marang liyan. Aja padha rebutan bantuan.” ujar Martopo (bukan nama sebenarnya), warga Gunungkidul, 45 tahun.
Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia kurang lebih begini: “Jangan sedih, musibah itu harus diterima dengan ikhlas, itu semua adalah cobaan Yang Kuasa. Kita harus rukun dan saling membantu antar sesama. Jangan saling berebut bantuan.”
Begitu bijak dan menyejukkan nasihat Martopo saat gempa tahun 2006 yang memporak-porandakan desanya. Sampai hari ketiga paska gempa, ia bersama anggota masyarakat lainnya masih bergotong-royong membersihkan puing reruntuhan bangunan. Lelaki pendiam berkulit legam ini sebenarnya dalam waktu dekat akan menikahkan putrinya. Segala persiapan telah dilakukan, mulai menyiapkan bahan makanan sampai uleman (undangan) dan punjungan (hantaran makanan pengganti undangan).
Namun, kenyataan yang diterimanya amat pahit. Gempa memudarkan harapannya. Dalam kedukaan yang amat dalam, ia mencoba untuk tegar, karena musibah yang dialami ini dialami juga oleh tetangga sekitarnya. Malam sebelum hari yang naas itu, saat para tetangga berkumpul di dekat reruntuhan bangunan, mereka dikejutkan oleh sosok Martopo yang tiba-tiba berubah seperti “orang lain”. Suaranya mendadak berat dan besar. Matanya nanar dan gayanya berwibawa. Kemudian ia memberi petuah agar semua warga sabar dan tidak berebut bantuan. Warga meyakini, Martopo sedang kesurupan, kemasukan dhanyang (semacam makhluk halus) penunggu desa.
Di saat warga lengah, Martopo langsung terjun ke sumur. Sontak tetangganya terkejut, karena tidak menduga sama sekali. Warga berusaha menyelamatkan dengan cara merangkak turun ke dalam sumur. Tapi Martopo meronta-ronta dan akhirnya terperosok ke jurang sumur. Martopo tewas mengenaskan.
Kisah nyata ini terjadi di suatu desa di Gunungkidul pada tanggal 31 Mei 2006 lalu. Hari ke-4 paska bencana gempa melanda wilayah DIY.
Catatan Penting Kasus Martopo
- Gempa yang meluluhlantakkan rumah dan memporakporandakan rencana pernikahan anaknya merupakan stresor psiko-sosial.
- Sehari sebelum melakukan bunuh diri, ia mengalami kesurupan.
- Merupakan usaha bunuh diri yang kedua setelah yang pertama gagal.
Rencana Pernikahan yang Gagal
Martopo mengalami stresor psiko-sosial yang besar. Ketika ia merencanakan mengadakan perhelatan pernikahan anaknya, gempa telah meluluh-lantakkan rumahnya. Selama ini ia berusaha keras untuk mengumpulkan lembaran rupiah demi rupiah untuk membahagiakan anaknya. Bahkan ia rela tinggal terpisah dengan istrinya yang bekerja di kota untuk memperbaiki taraf kehidupannya.
Sebenarnya sulit sekali bagi Martopo untuk menerima kenyataan ini, tapi di satu sisi ia menyadari bahwa bukan dirinya saja yang mengalami musibah. Martopo yang pendiam berusaha sedemikian rupa untuk bisa menekan perasaannya. Tetapi pertahanannya jebol, seolah jalan sudah begitu gelap dan tak ada lagi harapan untuk menatap masa depan.
Gempa Sebagai Peristiwa Traumatik
Martopo mengalami peristiwa traumatik yang mengakibatkan perubahan drastis dalam kehidupannnya. Sesuatu yang sebelumnya tampak jelas dan dapat diprediksi tiba-tiba berubah menjadi kacau dan tidak seperti yang diharapkan. Peristiwa traumatik tersebut menyebabkan perubahan perilaku dan kehidupan seseorang.
Marah, sedih, kecewa bercampur aduk jadi satu. Memang tidak semua individu yang terpapar peristiwa traumatik mengalami gocangan jiwa yang hebat. Hal itu bergantung kepada beberapa faktor, di antaranya: berat dan jenis paparan trauma, ciri kepribadian, dukungan sosial, dan respon komunitas budaya. Martopo mengalami konflik internal yang luar biasa. Pada satu sisi ia sangat marah, tapi di sisi lain ia merasa tidak layak mengeluh karena apa yang dialaminya juga dialami oleh orang lain.
Kesurupan
Sehari sebelum melakukan tindakan bunuh diri, Martopo mengalami kesurupan atau dalam istilah psikiatri disebut gangguan trans disosiatif (dissosiative trance disorder). Gangguan trans disosiatif menurut PPDGJI (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) III adalah suatu gangguan yang ditandai dengan hilangnya sebagian atau seluruh integrasi normal antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan, dan kendali terhadap gerakan tubuh.
Individu yang mengalami gangguan trans disosiatif dapat berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat, atau kekuatan lain. Perhatian dan kewaspadaan menjadi terbatas atau terpusat pada satu atau dua aspek yang ada pada lingkungannya, dan sering kali gerakan-gerakan, posisi tubuh, dan ungkapan kata-kata juga terbatas dan diulang-ulang. Gangguan trans disosiatif diduga bersifat psikogenik yang berkaitan dengan kejadian traumatik, problem yang tidak dapat diselesaikan dan tidak dapat ditolelir, atau gangguan dalam pergaulan. Gangguan stres akut juga dapat terjadi akibat kejadian traumatik.
Kepribadian yang Tertutup
Faktor risiko lain adalah kepribadian Martopo yang cenderung tertutup. Ia tidak mampu mengekspresikan perasaannya. Semua yang ia rasakan ditekan sedemikian rupa sehigga menyebabkan egonya goyah dan muncu reaksi disosiasi. Reaksi disosiasi merupakan pelepasan akibat tekanan di alam bawah sadarnya. Kemungkinan selain faktor gempa, Martopo juga mengalami stres berkepanjangan, baik karena faktor ekonomi, terpisah dari istri, dan juga berkaitan dengan rencana pernikahan anak perempuannya. Dalam hal ini, peristiwa gempa merupakan pencetusnya (trigger).
Ambivalensi, Kekakuan, dan Impulsivitas
Seseorang yang berniat bunuh diri biasanya memiliki perasaan ambivalensi, kekakuan, dan impulsivitas. Tiga hal ini dapat dicermati dalam diri Martopo. Sikap ambivalennya tampak ketika ia bergabung dalam gotong-royong dan menasihati untuk menerima cobaan yang dialami dengan pasarah, namun pemikiran untuk mati seakan membelenggunya. Dan pada saat situasi tertentu ada dorongan impulsif yang membuatnya nekad begitu ada kesempatan.
Sebenarnya bila dicermati, sebelum melakukan niatnya, Martopo sudah memberikan tanda-tanda berupa kalimat-kalimat bijak berbau filosofi dan telah melakukan percobaan bunuh diri. Tetapi sebenarnya, percobaan bunuh diri yang gagal merupakan faktor risiko yang tidak boleh diabaikan. Pikiran bunuh diri menjadi sangat obsesif, sehingga tinggal menunggu adanya kesempatan dan sarana tersedia.
Nrimo ing Pandum
Masyarakat Gunungkidul pada umumnya meyakini falsafah nrimo ing pandum (menerima akan takdir). Falsafah ini pada satu sisi memiliki makna positif agar seseorang dapat menerima dengan ikhlas cobaan Sang Kuasa. Namun, di sisi lain, ketika mental seseorang tidak matang, dapat menimbulkan konflik dalam dirinya. Bagaimana mungkin ia harus menerima kenyataan pahit, padahal hatinya diliputi kemarahan dan kesedihan yang mendalam. Hal ini dapat dicermati dari ungkapan Martopo dengan kalimat-kalimat kontradiktif berupa nasihat agar seseorang dapat menerima bencana sebagai takdir yang kuasa.
Superego yang Kuat
Masyarakat Jawa pada umumnya dan terutama masyarakat Gunungkidul memiliki superego yang sangat kuat. Menurut teori Freud, superego adalah nilai-nilai ideal yang dianut seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu. Superego terkait dengan budaya dan etika, bahwa tidak pantas seseorang mengeluh, marah atau pun menghujat takdirnya. Kesedihan akan bencana “harus” diterima dengan ikhlas. Musibah yang terjadi adalah musibah bersama, sudah sewjarnya satu sama lain saling membantu tanpa mengeluh.
Ia Terhukum oleh Konflik Perasaannya Sendiri
Ditelaah dari fenomena ini, Martopo berada dalam situasi lingkup budaya yang membuatnya sulit mengekspresikan perasaannya. Ia marah, belum bisa menerima kenyataan, apalagi harus ikhlas akan musibah ini. Namun superegonya “melarang” untuk memberontak, dan ia terhukum oleh konflik perasaannya sendiri. Bukan budayanya yang salah, tetapi pemahaman dan penerapannya yang mengalami distorsi (penyimpangan).
Seolah Tidak Terlalu Penting Mencari Akar Permasalahannya
Persoalan Psikososial
Secara umum permasalahan psikososial bunuh diri paska bencana sangat kompleks dan faktor yang berkaitan dengan usaha bunuh diri sangat bervariasi. Menurut dr. Mahar Agusno, Sp.KJ(K)., psikiater FK UGM, dalam Simposium Pencegahan Bunuh Diri tahun 2009, hal ini karena biasanya bencana menyangkut sejumlah manusia pada satu wilayah yang luas, maka bunuh diri paska bencana harus dipandang sebagai suatu permasalahan sosial daripada permasalahan klinis. Dengan demikian, upaya memperkecil risiko terjadinya bunuh diri yang dilakukan harus mempertimbangkan sistem pelayanan kesehatan (jiwa) yang ada dan melibatkan masyarakat secara aktif.
Catatan Akhir:
- Kisah nyata ini ditulis ulang dari buku berjudul Nglalu karya Ida Rochmawati, dr., Sp.KJ(K), Penerbit Jejak Kata, Yogyakarta, 2009. Foto peristiwa Gempa Jogja 2006 diambil dari http://dianaraquest.files.wordpress.com/…
- Penghormatan layak diberikan kepada almarhum Martopo, kiranya beristirahat dalam damai di pangkuan Sang Maha Wikan. Salam hormat dan respek juga disampaikan kepada keluarga dan anak-anaknya yang tentunya terus berupaya memulihkan diri dan melanjutkan perjuangan kehidupan. Semua yang dituliskan di sini adalah sebuah peristiwa kemanusiaan yang bisa menimpa siapa, tidak bertujuan untuk merendahkan harkat dan martabat pelaku dan keluarganya. Studi kasus atau “bedah peristiwa” sebagaimana tertulis di atas dilaksanakan agar dapat diambil maknanya dalam upaya penanggulangan bunuh diri yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
- Dalam setiap kejadian bunuh diri di Gunungkidul terkadang diikuti adanya keyakinan karena faktor “gaib”, karena dipenggawe dhanyang, karena pulung gantung, dan sebagainya itu sebagai closing story (penutup cerita). Keyakinan ini sering bertendesi menjadi pintu penutup rapat-rapat tidak adanya upaya pembelajaran praksis dari peristiwa-peristiwa kemanusiaan di tengah masyarakat. “Lha ngapa ndadak didhudhah, pora malah gawe wirang?” begitu ungkapan yang sering terdengar. Karena itu, upaya melawan stigma (pandangan buruk) peristiwa bunuh diri menjadi bagian penting agar masyarakat berdaya dalam pencegahan bunuh diri.