Tiada Kesehatan Tanpa Kesehatan Jiwa

No health without mental health.

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial, dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan, dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan, dan persalinan.

Pendidikan kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang memengaruhi kesehatan pribadinya, dan orang lain. Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry Green, dan para koleganya yang menulis bahwa pendidikan kesehatandalah kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan.

Bacaan Lainnya

Data terakhir menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 80% rakyat Indonesia tidak mampu mendapat jaminan kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan kesehatan, seperti Akses, Taspen, dan Jamsostek. Golongan masyarakat yang dianggap ‘teranaktirikan’ dalam hal jaminan kesehatan adalah mereka dari golongan masyarakat kecil, dan pedagang.

Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi lebih pelik, berhubung dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait beberapa kelompok manusia, tetapi juga sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu sendiri.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial, dan ekonomis.

 Kesehatan Jiwa

World Health Organization menjabarkan kesehatan mental sebagai “suatu keadaan yang baik dimana seseorang menyadari kemampuannya, dapat menghadapi stress yang normal, dapat bekerja secara produktif dan menyenangkan, dan dapat berkontribusi dalam komunitasnya”. Kesehatan jiwa bukan hanya tak adanya penyakit jiwa, dan masalah kesehatan jiwa bukan penyakit jiwa.

Penyakit jiwa dijabarkan sebagai ‘spektrum dari kognitif, emosi, dan kondisi tingkah laku yang bersinggungan dengan sosial, dan emosi yang baik, dan hidup serta produktivitas masyarakat.’ Menderita sakit jiwa adalah serius, sementara atau menetap, dari fungsi jiwa seseorang. Terminologi yang lain meliputi: ‘masalah kesehatan jiwa’, ‘sakit’, ‘terganggu’, ‘tak berfungsi’ (‘mental health problem’, ‘illness’, ‘disorder’, ‘dysfunction’).

Sekitar seperempat dewasa berumur 18 tahun ke atas di Amerika Serikat didiagnosis memiliki penyakit jiwa. Penyakit jiwa adalah penyebab utama ketidakmampuan di Amerika Serikat dan Kanada. Sebagai contoh meliputi: schizophrenia, ADHD, major depressive disorder, bipolar disorder, anxiety disorder, post-traumatic stress disorder, dan autis.

Banyak remaja menderita kesehatan jiwa sebagai akibat dari tekanan lingkungan sosial, dan masalah sosial yang mereka hadapi. Beberapa masalah kesehatan jiwa remaja adalah: depresi, masalah makan (eating disorders), dan penggunaan narkoba. Banyak cara untuk mencegah masalah kesehatan jiwa agar tak terjadi seperti komunikasi yang baik dengan anak-anak/remaja anda yang menderita kesehatan jiwa. Juga, bahwa kesehatan jiwa dapat disembuhkan, dan perhatianlah pada tingkah laku anak-anak Anda.

Tujuan Kesehatan dalam Segala Aspek

Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangsa, yang berarti memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan ketenteraman hidup. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, jadi tanggung jawab untuk terwujudnya derajat kesehatan yang optimal berada di tangan seluruh masyarakat Indonesia, pemerintah dan swasta bersama-sama.

Tujuan Pembangunan Kesehatan

Untuk jangka panjang pembangunan bidang kesehatan diarahkan untuk tercapainya tujuan utama sebagai berikut:

  1. Peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan.
  2. Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan.
  3. Peningkatan status gizi masyarakat.
  4. Pengurangan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas).
  5. Pengembangan keluarga sehat sejahtera, dengan makin diterimanya norma keluarga kecil yang bahagia, dan sejahtera.

Dasar-Dasar Pembangunan Kesehatan

Dasar-dasar pembangunan nasional di bidang kesehatan sesuai amanat UU Kesehatan adalah sebagai berikut:

  1. Semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal agar dapat bekerja, dan hidup layak sesuai dengan martabat manusia.
  2. Pemerintah, dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat.
  3. Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur oleh pemerintah, dan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat.

Mengenal Gangguan Kesehatan Jiwa

Di negeri Cina, seorang anak bayi umur 8 bulan ditusuk oleh ibunya berkali-kali sehingga harus menerima 100 jahitan karena bayi tersebut menggigit puting susu ibunya saat sedang menyusui. Seorang anak diduga membunuh ibunya dengan memutilasi tubuh ibunya di Jakarta. Seorang narapidana bunuh diri di rumah tahanan Cipinang, diduga karena beban psikologis yang berat yang harus dia terima. Seorang wanita setengah baya stres karena harus menunggui ayahnya yang sedang sakit berat berbulan-bulan.

Gangguan jiwa ada di mana-mana dan bisa mengenai siapa saja tanpa memandang latar belakang dan status ekonomi serta pendidikannya. Gangguan jiwa terjadi melalui suatu proses yang terjadi beberapa waktu sebelumnya, bisa cepat, bisa juga lebih lambat.

Apabila dideteksi dengan lebih cepat maka gangguan jiwa akan lebih mudah diterapi, diobati sehingga yang bersangkutan dapat pulih dan produktif kembali. Penyebab seseorang bisa menderita gangguan jiwa bermacam-macam atau disebut multifaktorial, yaitu:

  • Faktor genetik, keturunan
  • Kondisi ibu selama dia mengandung, bila ada gangguan mental, emosional, atau fisik maka akan mempengaruhi saraf otak janin yang dikandungnya
  • Proses persalinan, bila ada komplikasi maka meningkatkan risiko
  • Penyakit fisik seperti panas tinggi, kejang, atau penyakit berat lainnya mulai dari lahir sampai usia sekarang
  • Riwayat jatuh, terbentur kepala, kena pukul atau kecelakaan
  • Penggunaan Narkoba/Napza seperti : alkohol, ganja (cannabis). Shabu-shabu, Extasy, obat penenang, heroin (putaw), dll
  • Riwayat trauma, beban psikologis yang berat, masalah yang sulit diselesaikan, konflik, keinginan yang tidak tercapai, kemarahan yang terpendam, kesedihan yang mendalam, kehilangan, kekecewaan, dll

Semuanya itu membuat keseimbangan zat kimia di otak (neurotransmiter) menjadi berubah dan tidak stabil dan inilah yang memunculkan adanya perubahan pada : cara berpikir, perasaan, sikap, dan perilaku.

Berikut ini beberapa gangguan jiwa yang sering terjadi dan memerlukan perhatian khusus :

  1. Demensia: kepikunan pada orang tua, ditandai dengan hilangnya daya ingat (memori), perubahan kepribadian, perubahan perilaku menjadi mudah marah, mudah sedih, perilaku tidak wajar seperti bicara dan tertawa sendiri, keluyuran, sulit belajar hal-hal yang baru.
  2. Psikotik/skizofrenia: gangguan penilaian realitas ditandai dengan adanya halusinasi seperti mendengar suara-suara bisikan, melihat bayangan-bayangan, merasa di badan seperti ada yang menyentuh/meraba, seperti mencium bau-bauan yang tidak ada sumbernya, pembicaraan tidak nyambung, adanya waham yaitu keyakinan yang salah, seperti merasa dibicarakan orang lain, seperti merasa ada yang ingin berbuat tidak baik, merasa sebagai orang yang berbeda, seringkali disertai dengan perilaku agresif yang berbahaya seperti marah, merusak, dan melukai orang lain.
  3. Depresi: perasaan sedih yang mendalam disertai dengan hilangnya semangat dan motivasi, badan jadi mudah lelah/tidak bertenaga, perubahan pada pola tidur dan pola makan, sulit konsentrasi/tidak fokus, dan ada keinginan untuk bunuh diri
  4. Cemas/ansietas: rasa cemas/khawatir/panik mendominasi gangguan ini, disertai dengan adanya perubahan pada tubuh seperti nafas cepat dan pendek, jantung berdebar, keringat dingin, nyeri/tidak nyaman di perut, pusing, pandangan kabur
  5. Bipolar: Ini adalah gangguan mood/perasaan, orang yang mengalaminya mengalami perubahan mood dari senang ke sedih yang berlebihan, saat senang merasa memiliki banyak energi, tidak tidur-tidur, mengerjakan banyak hal, ada perilaku berisiko, hasrat seksual meningkat, belanja berlebihan, membagikan barang tidak wajar, bicara cepat dan loncat dari satu topik lainnya. Pada lain kesempatan muncul gangguan depresi seperti gejala di no.3.
  6. Gangguan kepribadian: Suatu gangguan yang sudah mendalam ditandai dengan kepribadian yang tidak fleksibel dan kaku sehingga tidak bisa beradaptasi dengan baik dengan lingkungan. GK paranoid (gampang curiga), GK skizoid (dingin,tdk senang bersosialisasi), GK skizotipal (eksentrik,perilaku aneh), GK histrionik (ekspresif, ingin jadi pusat perhatian), GK narsisistik (ingin selalu diutamakan dan jadi nomor satu), GK ambang (emosi tidak stabil, mudah meledak-ledak), GK antisosial (tidak memperdulikan perasaan orang lain dan norma yang berlaku, banyak melanggar aturan), GK cemas menghindar (selalu menghindari berbagai tugas dan enggan mengambil suatu tanggung jawab), GK dependen (selalu bergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan).

Gangguan jiwa membuat seseorang menjadi terganggu fungsi dan produktivitasnya dan ini bisa mengganggu juga keluarga dan masyarakat. Dengan melakukan deteksi dini dan penanganan yang baik maka gangguan jiwa dapat cepat dipulihkan dan tidak mejadi makin berat. Deteksi dini gangguan jiwa dapat dilakukan di puskesmas, rumah sakit, psikiater, psikolog, perawat jiwa dan di rumah sakit jiwa.

Pemeriksaan yang dilakukan adalah wawancara, pemeriksaan lab dan radiologi (bila diperlukan), tes kesehatan mental dan tes psikologis lainnya. Setelah diagnosis ditegakkan maka terapi akan segera dimulai dan kesembuhan akan cepat diraih. Pengobatan untuk gangguan jiwa berlangsung lama dan dibutuhkan konsultasi yang rutin.

Riskedas 2013: DI Yogyakarta Miliki Prevalensi Gangguan Jiwa Tertinggi di Indonesia

Pokok-pokok hasil Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang telah didiseminasikan oleh Balitbangkes Kementerian Kesehatan, mengungkap fakta menarik mengenai prevalensi gangguan jiwa di tanah air.

Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa berat atau dalam istilah medis disebut psikosis/skizofrenia di daerah perdesaan ternyata lebih tinggi dibanding daerah perkotaan.

Di daerah perdesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal salah satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung mencapai 18,2 persen. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya mencapai 10,7 persen.

Nampaknya, hal ini memberikan konfirmasi  bahwa tekanan hidup yang dialami penduduk perdesaan lebih berat dibanding penduduk perkotaan. Dan mudah diduga, salah satu bentuk tekanan hidup itu — meski tidak selalu — adalah kesulitan ekonomi.

Secara faktual, hingga kini kemiskinan masih berpusat di daerah perdesaan. Data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sekitar 63 persen penduduk miskin negeri ini tinggal di daerah perdesaan.

Data BPS juga menunjukkan, meski biaya hidup di daerah perdesaan lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah perkotaan, intensitas atau kejadian kemiskinan (incidence of poverty) di daerah perdesaan juga lebih tinggi. Pada bulan September 2013, misalnya, 14,42 persen penduduk di  daerah perdesaan tergolong miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari Rp 275.229,-.

Selain itu, kondisi serba kekurangan yang dialami penduduk miskin perdesaan kenyataannya lebih buruk dari penduduk perkotaan. Hal ini tercermin dari indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) di daerah pedesaan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah perkotaan.

Menariknya, bila dilihat menurut provinsi, prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi ternyata terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, sekitar  3 dari setiap 1.000 orang penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat.

Fakta ini barangkali bakal membuat sebagian orang bakal terkesiap. Mengingat penduduk DIY umumnya hidup dalam balutan nilai-nilai budaya Jawa yang kuat. Yang mengajarkan setiap orang untuk bersikap “nrimo”, berlapang hati atas segala kesulitan hidup yang dialami.

Fakta ini nampak erat kaitannya dengan kondisi kemiskinan yang terjadi di DIY. Data BPS menunjukkan, proporsi penduduk miskin di DIY pada bulan September 2013 mencapai 15,03 persen. Angka ini paling tinggi se-Jawa. Selain itu, kondisi kemiskinan yang dialami penduduk miskin di DIY juga salah satu yang terburuk di Jawa.

Bila ditelisik lebih jauh, tingginya prevalensi gangguan jiwa berat di DIY sebetulnya lebih merupakan fenomena kantong-kantong kemiskinan di daerah tandus dan kering seperti di Gunungkidul, bukan potret DIY secara umum. Seperti diketahui selama ini, kasus bunuh diri akibat himpitan kesulitan ekonomi juga banyak terjadi di wilayah Gunungkidul.

Selain soal kesehatan jiwa, potret yang disajikan hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa kesehatan jasmani juga menjadi persoalan pelik di DIY. Betapa tidak, secara nasional, prevalensi penyakit tidak menular, seperti kanker dan hyperthyroid, paling tinggi juga terjadi di DIY.

Tak disangka di balik pesona DIY, dan kehidupan masyarakatnya yang aman dan tenteram, ternyata tersimpam sejumlah persoalan pelik terkait kesehatan masyarakat yang mesti diselesaikan. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab bukan hanya pemerintah saja, tetapi terlebih utama adalah masyarakat DIY sebagai subjek pembangunan.

Stigma (Pandangan Negatif) terhadap Penyandang Masalah Kesehatan Jiwa dan Pelaku Bunuh Diri (termasuk Pelaku Percobaan Bunuh Diri)

Orang yang menderita gangguan jiwa kerap kali memperoleh stigma atau pandangan buruk. Sebutan “orang gila” merupakan salah satu yang paling sering dilontarkan. Penyebutan “orang gila” atau “orgil” tersebut tidak terbatas di kalangan masyarakat awam. Masih sering muncul lontaran itu justru muncul dari kalangan elit masyarakat, entah itu pemimpin formal, pemuka masyarakat, pemuka agama, maupun dan kaum muda yang terdidik sekali pun.

Stigma tersebut tidak hanya dilekatkan para penderita, para petugas medis yang menangani orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) juga mendapatkan stigma tersebut. Salah satunya adalah profesi psikiatri. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, Eka Viora.

“Stigma yang melekat pada penderita gangguan jiwa merupakan hambatan utama untuk menyediakan perawatan bagi mereka. Belum lagi, muncul stigma kepada keluarga, institusi yang memberikan perawatan, dan petugas kesehatan jiwa,” tuturnya dalam konferensi pers Hari Kesehatan Jiwa Dunia di Jakarta pada Senin, 10 Oktober 2016 lalu.

Selain masyarakat, dalam konferensi pers tersebut juga disebutkan, bahwa petugas kesehatan dan pemerintah berkontribusi dalam memperkuat stigma. Misalnya, dengan berbagai penyebutan yang tidak pantas untuk mereka yang menderita gangguan jiwa yang dilakukan oleh para petugas kesehatan.

Tanpa disadari, Pemerintah, di lain pihak, juga bisa memperkuat stigma terhadap masalah kesehatan jiwa. Contohnya adalah kata sterilisasi orang dengan gangguan jiwa, atau tidak adanya kesamaan pembayaran untuk pengobatan dan tidak berlakunya asuransi kesehatan bagi orang dengan gangguan jiwa.

Pada kasus bunuh diri, misalnya, perawatannya tidak ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Padahal, menurut Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiatri, Nurmiati Amir, berdasarkan hasil penelitian, mereka yang melakukan bunuh diri sebagian besar dalam kondisi sedang mengalami gangguan jiwa.

“Bunuh diri dianggap sebagai perbuatan yang tidak benar dan harus ditanggung oleh individu, makanya penanganannya tidak ditanggung oleh BPJS. Saya rasa tidak ada orang normal yang mau menyakiti dirinya sendiri. Seharusnya hal ini menjadi perhatian pemerintah,” ujar Nurmiati.

Sampai dengan pertengahan April 2017, tercatat 13 kejadian bunuh diri di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan catatan yang ada, hampir dalam semua peristiwa bunuh diri terindikasi pelakunya dalam kondisi depresi.

Kondisi depresi atau terduga depresi ini menunjukkan bahwa permasalahan bunuh diri ini memang sangat berkaitan erat dengan permasalahan kesehatan jiwa masyarakat. Tantangan terbesar penanganan kesehatan jiwa sebagaimana catatan di atas justru pada permasalahan stigma yang masih dilekatkan oleh masyarakat kepada para penderita masalah kesehatan jiwa.

Stigma atau pandangan buruk terhadap pelaku bunuh diri juga termasuk keluarga si pelaku masih sering dijumpai. Mulai dari yang ringan sampai yang berat, misalnya: miskin harta benda, miskin pemikiran, cupeting pikirdasare gampang wengdasare wong edan, kurang kuat imannya, tidak rajin beribadah, dan sebutan-sebutan sejenis lainnya.

Secara praktis, stigma atau cara pandang yang buruk tersebut memang juga akan berpengaruh terhadap kebijakan, strategi, dan program-program yang dilaksanakan oleh para pihak dalam penanganan permasalahan kesehatan jiwa. Oleh karena itu, upaya penanganan kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri mau tak mau juga mesti dimulai dari upaya melawan stigma terhadap masalah kesehatan jiwa. Stigma di masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) jelas menjadi faktor penghambat penderita dalam berobat. Salah satunya adalah kurang tanggapnya penyedia layanan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Eka Viora. “Orang dengan gangguan jiwa sering tidak mendapatkan martabatnya. Yang diperhatikan oleh fasilitas kesehatan seringkali hanya fisiknya saja,” ujar Eka. Eka mengatakan, ada beberapa pihak yang kerap memperkuat stigma tersebut, yakni petugas kesehatan dan pemerintah, dengan tidak memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai, serta media massa.

Masyarakat dan Keberdayaan Diri dalam Meningkatkan Kesehatan Jiwa

Masyarakat selaku subjek pembangunan dan subjek kehidupan pada dasarnya memiliki kemampuan dasar untuk bertahan hidup. Masyarakat sesungguhnya memiliki semangat dan daya juang untuk memulihkan diri dari berbagai beban kehidupan termasuk sakit-penyakit yang menimpa dirinya. Oleh karena itu keberdayaan diri dalam meningkatkan kesehatan termasuk aspek kesehatan jiwa tersebut menjadi modal dasar dalam peningkatan ketahanan kesehatan jiwa masyarakat.

Bagaimana cara meningkatkan keberdayaan diri tersebut? Tentu dengan menyediakan atmosfir kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk meningkat taraf kehidupan termasuk di dalamnya kesehatan fisik dan mentalnya melalui.

Atmosfir kehidupan sosial yang memungkinkan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah: pemahaman yang baik dan benar aspek-aspek kesehatan fisik dan mental yang dapat dipertanggangjawabkan secara keilmuan dan moralitas, tidak melanggengkan stigma yang menghambat ketahanan kesehatan jiwa, memberikan informasi dan akses layanan kesehatan yang komprehensif, serta kehidupan psikososial yang sehat, bermartabat, dan tidak diskriminatif atas kenyataan ada atau tidak adanya kondisi disabilitas fisik dan mental masyarakat.

***

Artikel ini disusun ulang dan disebarluaskan oleh Yayasan IntiMataJiwa dalam rangka peningkatan ketahanan kesehatan jiwa masyarakat dan upaya pencegahan risiko bunuh diri melalui serial edukasi kesehatan jiwa kepada masyarakat. Tim Penyunting Naskah: Ida Rochmawati, Andriyani Widyaningtyas, Wage Daksinarga, Wahyu Widayat, Jaka Yanuwidiasta, Sukandar.   Referensi: 1. UU Nomor 26 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Kemenkes RI; 2. Mengenal Gangguan Kesehatan Jiwa, dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ, RS Marzoeki Mahdi Bogor; 3. Fakta Menarik Prevalensi Gangguan Jiwa di Indonesia: DI Yogyakarta Tertinggi, Kadir Ruslan, peneliti senior Badan Pusat Statistik. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *