Data tahun 2014 menunjukkan, ada 98,7 juta jiwa yang mengalami gangguan depresi. Depresi sendiri adalah diagnosis gangguan jiwa yang pernah dialami oleh 17 persen orang di dunia. WHO di situs resminya mengatakan, pada tahun 2016 ada 300 juta jiwa yang pernah dan masih mengalami depresi. Angka kejadian depresi di Asia Tenggara sendiri berkisar 4 persen, dan di Asia Selatan sekitar 8,1 persen. Angka ini sebenarnya dalam kisaran angka prevalensi depresi di Asia yang berkisar 1,1 -19,9 persen. Gejala depresi sering kali tidak dikenali. Beberapa orang yang kita temui sehari-hari juga sering kali tidak bisa membedakan antara depresi dan gangguan jiwa lainnya.
Kenali Gejala Depresi
Gangguan depresi adalah gangguan jiwa yang mempunyai gejala utama penurunan mood (suasana perasaan) dan tidak adanya motivasi/merasa putus asa. Kebanyakan pasien depresi di praktek sehari-hari mengatakan gejala yang dialami adalah kelelahan, insomnia, kecemasan, dan tidak adanya motivasi. Masalah depresi sering tidak tertangani dengan baik karena terhalang terapinya oleh hal-hal seperti stigma, tidak terdeteksi di praktek sehari-hari, pembiayaan depresi yang tinggi dan terapi yang tidak seragam serta berdasarkan rujukan ilmiah yang tidak jelas. Masalah menjadi lebih besar karena gangguan depresi bukan hanya berbicara tentang gejala yang disebutkan di atas, tetapi bagaimana depresi mempengaruhi kualitas hidup orang secara pribadi dan sosial.
Terapi Depresi
Orang dengan depresi bisa saja mengalami kesembuhan dari gejalanya tetapi, selama fungsinya belum kembali seperti sedia kala maka bisa dikatakan kondisi dia belum sembuh benar. Ada 97% pasien depresi sendiri mengatakan adanya gangguan fungsi dalam kehidupannya dan 42% di antaranya dalam kondisi yang berat. Prof David Sheehan, psikiater dari Amerika Serikat, dalam presentasinya mengatakan, terapi depresi bukan saja untuk menghilangkan gejala depresi, tetapi juga memperbaiki fungsi pribadi dan sosial pasien. Ini juga ditunjang dari data klinik bahwa kebanyakan pasien depresi mengalami lebih dulu perbaikan pada gejalanya daripada fungsi pribadinya sehari-hari.
Berkaitan dengan tema hari kesehatan sedunia, maka ada baiknya kita memahami masalah depresi yang ada di sekitar kita. Jangan heran jika ternyata orang-orang terdekat kita mengalami masalah depresi. Salah satu yang bisa kita bantu adalah menjadi pendengar yang baik dan membuat mereka, para orang yang mengalami depresi bisa berbicara tentang depresinya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa depresi tidak sama dengan kesedihan biasa.
Depresi Itu Gangguan Fungsi Otak, Bukan Karena Manja atau Kurang Beriman
Depresi adalah suatu gangguan fungsi otak yang berakibat pada gejala-gejala depresi yang dialami pasien. Sering kali pasien depresi enggan untuk membicarakan depresinya karena sering dianggap sebagai orang yang manja, tidak bersyukur, tidak berserah diri dan kurang beriman. Bagaimana bisa mereka mau bicara jika di kepala kita sudah ada stigma yang kurang baik terhadap depresi.
Mendengarkan Curhat
Curhat atau curahan hati, sebuah akronim yang sudah terdengar familiar. Hampir setiap orang pernah melakukan curhat, baik ketika mendapatkan kegembiraan, apalagi menghadapi kecemasan. Hal sederhana yang dapat dilakukan semua orang ini ternyata memiliki manfaat yang besar karena dapat menghindarkan seseorang dari depresi.
Hari Kesehatan Sedunia 2017 pada 7 April lalu mengangkat tema global “Depression: Let’s Talk”. Tema nasional yang ditetapkan Kemenkes adalah “Depresi: Yuk Curhat!”.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dr. H. M. Subuh, MPPM, menekankan pentingnya upaya memahami lebih dalam tentang depresi agar dapat menemukan cara menanggulangi, serta pentingnya dukungan bagi orang-orang yang mengalami depresi dengan menemani dan menyemangati, dan mendengarkan tanpa menghakimi. “Tanpa kita sadari sebenarnya curhat itu penting, untuk exhaust. Mengekspresikan perasaan bisa mengurangi beban masalah kejiwaan”, ujar dr. Subuh.
Melawan Stigma
Selaras dengan itu, perwakilan WHO untuk İndonesia Dr. Jihane Tawilah menyatakan, bahwa stigma terhadap depresi harus dikurangi. Masyarakat harus lebih peka terhadap tanda dan gejala depresi. Setiap orang perlu bicara tentang depresi secara terbuka dan dewasa, peka terhadap tanda dan gejala agar bisa mendapatkan bantuan layanan kesehatan jiwa. “Orang yang mengalami depresi itu merasa dirinya tidak baik,sementara orang-orang di sekitarnya tidak peka. Padahal orang yang depresi itu sedang sakit dan membutuhkan bantuan kita untuk sembuh dari penyakitnya”, tuturnya.
Menjadi Teman Curhat, Membantu Penyembuhan Depresi
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Diah Setia Utami, Sp. KJ., MARS menyatakan, masyarakat bisa membantu orang-orang yang mengalami depresi dengan cara mendengarkan mereka berbicara, dan membuka wawasan mereka bahwa di sekitar mereka ada harapan, dan banyak orang yang ingin membantu mereka. Diah juga sangat berharap agar stigma (pandangan negatif) tentang depresi di masyarakat bisa dikurangi bahkan dihilangkan. Karena hal tersebut justru menjadi penghambat upaya seseorang menolong dirinya keluar dari situasi depresi yang dialaminya, bahkan justru memperparah keadaannya.
Stigma yang dilabelkan kepada orang yang mengalami depresi di antaranya: orang yang tidak dekat dekat dengan Tuhan, kurang iman, tidak sabar terhadap cobaan Tuhan, diguna-guna atau didekati makhluk halus, dan lain sebagainya. “Seringkali mereka tahu ada yang terjadi dalam dirinya, namun seringkali merasa takut salah menyatakan perasaan. Terkadang mereka sudah bicara tapi tidak didengarkan, malah dinasehati, atau disalahkan. Itu justru memperparah keadaan”, katanya.
Secara umum, yang dibutuhkan adalah pendengar yang baik. Utamanya adalah tidak memotong pembicaraan, bukan malah menasihati apalagi menyalahkan. “Tidak memotong pembicaraan, bersifat mendukung (supported), bisa memahami, ada reflective listening. Harus benar-benar bisa menjadi orang yang bisa mendengar, bukan just hearing melainkan listening”, tambahnya.
Diah menjelaskan, bahwa menyimak (listening) itu bukan hanya memakai telinga saja untuk mendengar, tetapi juga menggunakan indera lainnya, seperti: mata (untuk melihat gerak tubuh dan ekspresi), hati (untuk berempati terhadap apa yang dikatakan), dan pikiran (untuk mengkoneksi setiap kata dan ucapan).
Depresi dan Risiko Bunuh Diri
Depresi memang bukan penyakit fisiologis seperti pada umumnya, namun efek dari depresi dapat membahayakan tubuh juga. Depresi sangat erat kaitannya dengan kejadian bunuh diri. Seseorang dengan kondisi depresi beresiko melakukan tindakan bunuh diri atau menunjukkan gejala ingin bunuh diri.
Oleh karena itu, penanganan gangguan depresi menjadi sangat penting agar dapat mengurangi risiko kejadian bunuh diri. Membantu sesama dengan menjadi kawan seperjalanan hidup yang memahami, mau mendengarkan, dan membantu pemulihan dari kondisi depresi yang dideritanya menjadi strategi pokok dalam kembali menumbuhkan keswadayaan dan keberdayaan masyarakat dalam mencegah risiko kejadian bunuh diri.
****
Artikel ini disusun ulang dan disebarluaskan oleh IMAJI dalam rangka peningkatan ketahanan kesehatan jiwa masyarakat dan upaya pencegahan risiko bunuh diri melalui serial edukasi kesehatan jiwa kepada masyarakat. Tim Penyunting Naskah: Ida Rochmawati, Andriyani Widyaningtyas, Wage Daksinarga, Wahyu Widayat. 1. Ayo Bicara tentang Depresi, dr. Andri, Sp.KJ., FAPM, psikiater RS OMNI Alam Sutera, Serpong; 2. Cegah Depresi: Yuk Curhat!, drg. Oscar Primadi, MPH., Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Republik Indonesia